JAKARTA - Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hasan Fawzi mengatakan, proses peralihan pengawasan aset kripto dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke OJK masih terus berjalan.
Menurut Hasan, salah satu yang menjadi fokus dalam diskusi bersama dengan Bappebti, dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yaitu ketentuan soal pajak kripto.
"Nanti pada saatnya setelah itu beralih di OJK, tentu aspek perpajakan akan kita diskusikan. Jadi, itu akan menjadi satu bahan diskusi untuk dikoordinasikan di dalam forum KSSK. Semoga ada jalan keluarnya ya," ujarnya kepada awak media, Selasa, 26 Maret 2024.
Adapun OJK telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 3 Tahun 2024 (POJK 3/2024) tentang Penyelenggaraan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK).
POJK 3/2024 menjadi keberlanjutan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), bertujuan untuk memperkuat ekosistem keuangan yang memanfaatkan inovasi teknologi, termasuk teknologi finansial (fintech) dan aset keuangan digital seperti kripto.
Hasan menilai, POJK tersebut akan menciptakan sebuah perlindungan konsumen dan mitigasi risiko dalam teknologi sektor keuangan. Dalam kesempatan yang sama, OJK mengembangkan regulatory sandbox atau ruang uji coba atau pengembangan inovasi di sektor keuangan.
Masih kata Hasan, bagi inovator yang ingin mengembangkan model bisnis harus berizin, termasuk harus mengajukan atau mendaftarkan diri ke regulatory sandbox di OJK. Hal yang sama juga berlaku pada produk atau layanan pada aset kripto.
Menurut dia, jika transisi pengawasan dan aturan kripto sudah masuk di OJK maka ada kewajiban untuk mengikuti sandbox.
"Kami mengundang inisiatif baru yang terkait dengan model bisnis atau inovasi, mekanisme baru, produk atau layanan baru yang dilakukan untuk keuangan digital secara umum termasuk kegiatan aset kripto, jadi sama dengan yang lain aset keuangan digital, aset kripto masuk salah satu ITSK," ujarnya.
Sementara itu, Deputi Komisioner Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto Moch Ihsanuddin mengatakan, saat ini pihaknya tengah menunggu Peraturan Pemerintah (PP) yang paling lambat terbit pada 12 Januari 2025.
"Untuk saat ini, proses PP masih dalam diskusi atau harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM (Kumham), dan akan proses ke Sekretariat Negara (Sesneg)," ucapnya.
Sambil menunggu PP, kata dia, OJK juga terus berkomunikasi dengan pelaku kripto dan melakukan Focus Group Discussion (FGD).
BACA JUGA:
Sebelumnya, pajak yang dipungut untuk transaksi kripto dibagi menjadi dua yaitu untuk penjual aset kripto yakni pajak penghasilan (PPh) dan bagi pembeli aset kripto dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Adapun PPh untuk penjual aset kripto terdaftar pajak yang harus dibayarkan sebesar 0,1 persen dari nilai transaksi, sementara PPN adalah 0,11 persen dari nilai transaksi.
Sementara yang belum terdaftar di Bappebti, pungutan pajaknya lebih tinggi yakni PPh 0,2 persen dan PPN sebesar 0,22 persen.
Sebagai informasi, hingga awal tahun 2024, total nilai transaksi aset kripto mencapai Rp48,82 triliun, dan Indonesia menempati peringkat ketujuh sebagai negara dengan jumlah investor aset kripto terbanyak di dunia.
Di sisi lain, jumlah investor aset kripto di dalam negeri terus bertambah, mencapai 18,83 juta investor pada bulan Januari 2024.