Bagikan:

JAKARTA - Pengamat Ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai untuk merealisasikan program makan siang gratis yang diusung Calon Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, akan mengurangi subsidi BBM untuk merealisasikannya.

"Bisa juga bersumber dari pengalihan subsidi energi, yang sebelumnya harus didukung oleh bukti faktual bahwa telah terjadi praktek subsidi energi yang tidak tepat sasaran. Misalnya, subsidi energi lebih banyak dinikmati oleh kelas menengah ke atas ketimbang oleh masyarakat miskin," jelasnya dalam keterangan resminya, Rabu 6 Maret.

Ronny menjelaskan untuk membiayai kebijakan sosial dari dana pengalihan subsidi harus dilalukan secara hati-hati. Syaratnya, anggaran subsidi memang memakan dana yang besar melebihi 2 persen dari PDB nasional, sehingga sangat membebani anggaran nasional. Masalahnya untuk Indonesia, anggaran subsidi energi ternyata hanya sekira 0,9 persen saja dari PDB.

Selanjutnya, Ronny menyampaikan jika memang ingin meluruskan praktek subsidi energi, perlu dilakukan antisipasi dari kenaikan harga energi dengan kebijakan-kebijakan penguatan daya beli masyarakat di satu sisi (social protection policy) dan kebijakan penerapan subsidi energi secara tertarget yang dilakukan secara ketat dan matang.

"Karena sebagaimana diketahui bersama bahwa kebijakan subsidi energi seringkali diposisikan sebagai kebijakan "prize stabilisation" oleh banyak negara alias bukan sebagai kebijakan pemberian subsidi. Walhasil, penghapusan subsidi menjadi opsi kebijakan yang sulit karena berpotensi menciptakan multiplier effects ke berbagai sektor," jelasnya.

Menurut Ronny, dengan mencabut energi subsidi harus dalam rangka meluruskan praktek subsidi bahwa penerima subsidi adalah kelompok masyarakat tertentu, yang memang secara kategoris layak menerima subsidi.

Ronny menambahkan pendataan yang jelas dan tepat terkait penerima subsidi harus dilakukan terlebih dahulu. Setelah itu baru dirumuskan metode pendistribusiannya, apakah memakai sistem kartu atau teknologi kode barcode atau teknologi sejenisnya, di mana hanya masyarakat yang memegang kartu atau yang memiliki kode tertentu saja yang boleh membeli energi bersubsidi.

Di sisi lain, paket cash transfer untuk kelompok masyarakat miskin dan rentan miskin juga harus disiapkan sebagai antisipasi kenaikan harga barang-barang akibat kenaikan harga BBM dan energi lainnya.

Menurut Ronny alternatif yang juga perlu dipertimbangkan adalah pengurangan subsidi secara gradual dengan nominal yang kecil. Misalnya pemerintah bisa menaikan harga BBM varian Pertalite dua kali dalam setahun, tapi kenaikannya hanya sekitar Rp500 per liter.

"Sehingga dalam setahun akan ada kenaikan harga BBM sebanyak dua kali, tapi nominalnya secara kumulatif hanya Rp1000," tuturnya.

"Dengan begitu, masyarakat tidak terlalu mengalami goncangan dan shock therapy yang besar, karena efeknya ke harga-harga juga tak terlalu besar. Jika pemerintah bisa melakukannya secara baik, maka dalam dua tahun, subsidi BBM varian Pertalite akan terhapus sebesar Rp2000. Serta tak lupa, pengurangan subsidi harus dilakukan di saat angka inflasi rendah alias bukan sembarangan," ujarnya.

Ronny menyampaikan kembali harus diingat bahwa jenis kebijakan sosial yang semestinya dibiayai dengan cara ini bukanlah berbentuk makan siang gratis.

Adapun, kebijakan makan siang gratis yang sumbernya digeser-geser dari sumber pembiayaan sosial lainya tidak akan berdampak secara struktural, tidak transformative, dan kurang sustainable atau sekali kebijakannya berhenti, segala manfaatnya terhenti.

"Tingkat ketimpangan akan tetap tinggi atau bahkan bertambah tinggi, seperti yang terjadi hari ini di mana gini ratio Indonesia sudah berada di angka 0,388, naik dibanding tahun lalu yang sebesar 0,381. Yang kaya akan semakin kaya, sementara yang miskin dan rentan miskin hanya mendapat makan siang gratis. Tentu sangat tidak adil," pungkasnya.