Bagikan:

JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan, saat ini petani di Indonesia terjebak lingkaran utang yang membuat kehidupan mereka masih hidup di bawah kesejahteraan.

"Menurut pengamatan saya selama lima tahun petani yang sukses itu adalah petani yang punya penghidupan lain atau income lain. Jadi, kalau dia hanya murni petani, ya, tetap saja miskin," ujar Esther dalam forum diskusi bertajuk "Arah Kebijakan Pangan Indonesia Pasca Pemilu 2024" di Jakarta, dikutip Sabtu, 10 Februari.

Esther menyebut, para petani Indonesia baru bisa mendapatkan pendapatan hanya ketika musim panen. Sedangkan, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saat musim tanam, mereka harus mengajukan utang ke warung-warung kreditur di desa tersebut.

Namun ketika musim panen tiba, para petani ini harus membayarkan utang-utang beserta bunganya, jika berbunga, kepada para kreditur. Kondisi ini yang menyebabkan petani di Indonesia tidak memiliki pemasukan yang bisa ditabung untuk bertahan hidup saat musim tanam, sehingga mereka harus kembali berhutang.

"Kenapa petani tetap saja miskin karena dia hanya punya pendapatan saat panen, kehidupan sehari-harinya dari ngutang, Jadi, enggak punya penghasilan sehari-hari, dia ngutang dari warung. Nah, ketika panen dia memberikan hasil panennya kepada tengkulak itu. Jadi, gimana mau kaya," tuturnya.

Menurut Esther, para petani tidak bisa menyimpan uang hasil panen dikarenakan jumlah yang diterima tidak lebih banyak.

Sebab selain untuk memenuhi biaya hidup, mereka juga harus melunaskan utangnya kepada kreditur, baik yang dipinjam kepada tetangganya maupun tanggungan dari KUR yang dicairkan sebelumnya.

"Petani yang bisa berkelanjutan yang punya penghasilan lain, misalnya dari tukang ojek, kemudian dari pegawai. Jadi, dia dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dari ojek, nanti ketika panen dia bisa saving dan hidup. Tapi kalau hanya petani, itu menurut pengamatan say tidak punya tabungan karena bayar hutang," ungkap Esther.

Lebih lanjut, Esther menilai kondisi ini bakal berdampak buruk pada regenerasi petani di Indonesia. Hal itu sudah bisa terlihat sejak saat ini ketika profesi sebagai PNS maupun pegawai swasta lebih direkomendasikan oleh orang tua yang petani kepada anaknya.

"Kenapa orang tuanya petani anaknya tidak boleh jadi petani. Jadi, ada problem regenerasi petani juga, tidak seperti di Belanda, itu di sana petani gagah dan keren-keren. Mereka punya penghasilan sama halnya seperti pegawai pemerintahan," pungkasnya.