Bagikan:

JAKARTA - Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah mengidentifikasi berbagai titik kritis yang harus dibenahi terkait tata kelola industri pertambangan sepanjang tahun lalu. Dimana BPKP berhasil menyelamatkan uang negara senilai Rp31 triliun.

Angka sebesar Rp31 triliun tersebut merupakan hak negara yang terancam hilang akibat lemahnya tata kelola di industri pertambangan pada beberapa komoditas. Salah satunya nikel.

Deputi Bidang Investigasi BPKP Agustina Arumsari menjelaskan bahwa angka Rp31 triliun ini merupakan kumulatif semenjak tambang beroperasi. Namun, baru diaudit oleh BPKP di tahun lalu.

“Itu kumulatif sepanjang mengelola izin dari tahun sekian sampai sekian, tapi auditnya tahun 2023,” ucapnya usai konferensi pers di Kantor BPKP, Jakarta, ditulis Jumat, 2 Februari.

Sari bilang investigasi yang dijalankan BPKP ini dilakukan pada beberapa lokasi strategis. Mulai dari timah di wilayah Bangka Belitung, hingga nikel di Sulawesi Tenggara.

“Hanya komoditas tertentu. Saya tidak hapal nama tempatnya di mana, tetapi komoditasnya itu nikel dan timah,” ucapnya.

Lebih lanjut, Sari mengatakan dari hasil investigasi yang dilakukan, BPKP berhasil mendapatkan beberapa temuan. Salah satunya, proses izin yang tidak dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah (pemda) terkait.

Sari bilang perusahaan tambang wajib mengalokasikan dana reklamasi pada proses perizinan. Kata dia, proses ini yang belum dikelola dengan baik oleh pemda yang mengeluarkan izin. Reklamasi yang dilakukan pun semestinya secara bertahap.

Apabila perusahaan sudah mengantungi Izin Usaha Pertambangan (IUP) baru, sambung sari, maka tempat lamanya harus direklamasi. Ini merupakan syarat agar diperbolehkan untuk pindah lokasi.

“Tapi yang terjadi tidak demikian, pokoknya babat semua. Lalu, pemda yang keluarkan izin juga tidak ada kontrol apakah memang sudah reklamasi atau belum,” ucapnya.

Sayangnya, kata Sari, ketika reklamasi sudah dilakukan pun pemda tidak mengontrol bagaimana dana reklamasi tersebut disalurkan. Dia juga bilang permasalahan lain yang ditemukan BPKP adalah tumpang tindih perizinan.

Contohnya, sambung Sari, ada IUP yang masuk ke kawasan hutan. Padahal, kata dia, kawasan tersebut seharusnya dijadikan lahan untuk konservasi.

“Soal tumpang tindih izin, ada yang masuk kawasan hutan dan kami temukan seperti itu. Ini kan sebenarnya tidak boleh. Memang ini jadi PR untuk perbaikan tata kelola,” katanya.