ALVAboard Dukung Pengembangan Ekonomi Sirkuler via <i>Carbon Offset</i>
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - PT Alpha Gemilang Makmur selaku pengelola daur ulang kardus plastik ALVAborad mendukung pengembangan ekonomi sirkuler melalui produk carbon offset.

CEO PT Alpha Gemilang Makmur Alden Lukman di Tangerang, Kamis menyampaikan bahwa bentuk komitmen dalam mendukung pengembangan ekonomi sirkuler tersebut pihaknya berkolaborasi dengan Fairatmos.

"Produk-produk kemasan ALVAboard dibuat dari daur ulang plastik yang dibuat berdasarkan prinsip sustainable product dan prinsip ekonomi sirkular,"  kata Alden dikutip dari ANTARA, Sabtu, 28 Oktober.

Dia menjelaskan, penerapan ekonomi sirkular di dunia industri menjadi salah satu cara untuk memerangi masalah ini.

Dalam dunia industri, proses daur ulang kemasan dengan bantuan teknologi ini sering disebut smart packaging.

"Di Indonesia sendiri, smart packaging sudah memiliki banyak model," ucapnya.

Disisi lain, tren kemasan ramah lingkungan menjadi salah satu suatu gerakan yang bertujuan untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh sampah kemasan terhadap lingkungan.

Kendati demikian, untuk hal ini berbeda dengan kemasan daur ulang lainnya yang membutuhkan tahapan yang panjang, proses recycle kardus ALVAboard berlangsung lebih singkat.

Dimana, lanjutnya, tekad ALVAboard ini dilakukan secara berkelanjutan untuk mengurangi dampak negatif dari kemasan konvensional terhadap lingkungan yang kini telah menjadi perhatian besar di seluruh dunia.

Di bawah merek ALVAboard, perusahaan/pabrik yang berada di Kawasan Industri Jatake Kabupaten Tangerang ini mendistribusikan produknya dengan berfokus pada kemasan inovatif dari lembaran plastik polypropylene (PP), bahan plastik yang dapat mengurai dalam 20-30 tahun, atau lebih cepat dari banyak bahan plastik lainnya yang bisa mencapai ratusan tahun.

"Sesuai data yang dipaparkan Kemenperin, pengumpulan sampah plastik yang ada saat ini, baru sekitar 20 persen yang bisa dipergunakan sebagai bahan baku plastik. Untuk itu, salah satu pendekatan pengelolaan sampah nasional adalah pendekatan circular economy (ekonomi sirkular). Di sinilah ALVAboard berinovasi untuk mencapai inovasi produk sustainable packaging kemasan ramah lingkungan untuk mendukung roda perputaran circular economy," ungkapnya.

Sebagai perbandingan, plastik yang tidak didaur ulang setara dengan 3,8 persen emisi gas rumah kaca global, yang menjadikannya salah satu pencemar lingkungan terbesar di dunia.

"Inilah mengapa daur ulang sangat penting. Kertas dan kardus juga bukan tanpa kekurangan. Keduanya memakan sejumlah besar energi untuk sumber dan produksinya. Jejak karbon global keduanya relatif rendah hanya sekitar satu persen karena sumber energi terbarukan seperti biogas, biomassa, dan pembangkit listrik tenaga air. Tetapi plastik dibuat dengan proses yang jauh lebih efisien, membutuhkan energi 40 persen lebih sedikit," paparnya.

Ia menambahkan, sebagai mendukung ekonomi sirkular di masyarakat, ALVAboard bahkan bersedia menerima kembali packaging yang rusak atau sudah tidak dipakai, agar dapat kembali di daur ulang oleh ALVAboard menjadi packaging baru, sehingga dapat terus mengedepankan konsep ekonomi sirkular untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi serta meminimalkan kerusakan lingkungan.

"ALVAboard memproduksi kardus packaging dari lembaran plastik berongga berkualitas tinggi, terbuat dari bahan polypropylene daur ulang yang sudah lolos ISO 9001:2015 yang cocok untuk berbagai macam aplikasi untuk indoor maupun outdoor," papar dia.

Sekadar diketahui, akumulasi limbah plastik dan kemasan sekali pakai telah mencemari bumi dan menyebabkan kerusakan serius pada ekosistem dan makhluk hidup di dalamnya.

Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2022 hasil input dari 202 kabupaten/kota se Indonesia menyebut jumlah timbunan sampah nasional mencapai angka 21.1 juta ton.

Dari total produksi sampah nasional tersebut, 65.71 persen (13.9 juta ton) dapat terkelola, sedangkan sisanya 34,29 persen (7,2 juta ton) belum terkelola dengan baik.