Bagikan:

JAKARTA - Pergerakan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih akan dipengaruhi kenaikan suku bunga acuan pada perdagangan Selasa, 24 Oktober dan berpotensi melanjutkan pelemahan.

Sebagai informasi, berdasarkan data Bloomberg, rupiah melemah 0,38 persen ke level Rp15.933 per dolar AS pada perdagangan Senin, 23 Oktober.

Menurut kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indoesia, nilai tukar rupiah berada di angka Rp 15.943 melemah dari Rp 15.856 pada hari perdagangan sebelumnya.

Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menyampaikan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia memiliki dampak yang signifikan terhadap perekonomian, terutama dalam konteks konsumsi dan inflasi.

"Untuk perdagangan selasa 24 Oktober, mata uang rupiah bergerak fluktuatif namun ditutup melemah direntang Rp15.910-Rp15.970 per dolar AS," jelasnya dalam keterangan resminya, Senin, 23 Oktober.

Ibrahim menyampaikan, kenaikan suku bunga akan memengaruhi dari sisi permintaan masyarakat, mengingat hal ini membuat pinjaman menjadi lebih mahal.

Akibatnya, daya beli masyarakat kemungkinan akan menurun.

Menurut Ibrahim setelah suku bunga acuan naik membuat masyarakat cenderung lebih berhati-hati.

Khususnya dalam mengambil pinjaman yang pada gilirannya mengurangi pengeluaran mereka untuk berbagai keperluan. Sementara itu, sisi penawaran juga terdampak oleh kenaikan suku bunga.

Adapun kenaikan ini akan mendorong biaya produksi perusahaan menjadi lebih tinggi, karena mereka harus membayar bunga yang lebih tinggi untuk pinjaman mereka.

Sebagai akibatnya, perusahaan dapat menurunkan keuntungan mereka.

Secara teoritis, kenaikan suku bunga Bank Indonesia memiliki dampak negatif terhadap konsumsi.

"Konsumsi masyarakat akan mengalami penurunan karena harga barang dan jasa cenderung naik akibat biaya produksi yang lebih tinggi yang salah satu alasannya karena mahalnya cost of fund," tuturnya

Selain dampak pada konsumsi, kenaikan suku bunga BI juga dapat berdampak positif pada inflasi.

Hal ini terjadi melalui penurunan permintaan agregat yang dipicu oleh kenaikan suku bunga. Kenaikan suku bunga berpotensi membuat pinjaman lebih mahal.

Ibrahim menyampaikan kondisi tersebut tentunya juga berpotensi mengurangi pengeluaran masyarakat secara keseluruhan.

Sehingga dapat membantu mengendalikan tekanan inflasi karena permintaan yang lebih rendah dapat mengurangi dorongan harga barang dan jasa.

Selain itu, Menurut Ibrahim, kekhawatiran penularan dari perang terbaru di Timur Tengah dan keragu-raguan Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga AS lagi mengirimkan dampak negatif.

"Serta upaya diplomatik yang semakin intensif dalam upaya untuk menahan konflik antara Israel dan kelompok Islam Palestina Hamas," ujarnya.