JAKARTA - Ketua Umum Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Kartika Wirjoatmodjo mewaspadai dampak gejolak suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve terhadap perekonomian Indonesia.
“Kita perlu cermati bahwa tingginya suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat telah menyebabkan nilai tukar rupiah terdepresiasi selama tahun 2023 ini. Kita harus senantiasa waspada,” kata Tiko saat media gathering di Bandung, Jawa Barat, dikutip dari Antara, Kamis 23 November.
Bila pelemahan rupiah akibat tingginya suku bunga acuan The Fed terus berlanjut, dia menilai akan ada potensi peningkatan risiko valas dan instabilitas sistem keuangan nasional, yang pada akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Di samping itu, belum adanya tanda penurunan suku bunga acuan The Fed dapat memicu berlanjutnya pengetatan likuiditas global.
Ia mengatakan Indonesia mulai memasuki tahun pesta demokrasi yang dapat memengaruhi risk appetite investor dan pelaku usaha.
“Sebagian akan cenderung wait and see hingga ada kepastian mengenai hasil kontestasi politik dan perubahan yang ditimbulkan, seperti perubahan kebijakan dan regulasi,” ujar Tiko.
Meski begitu, Chief Economist BTN Winang Budoyo menyebut langkah Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6,00 persen pada Oktober lalu menjadi langkah yang tepat dalam merespons gejolak nilai tukar rupiah.
“Seminggu sebelum Rapat Dewan Gubernur (RDG) Oktober, rupiah melemah hampir mendekati Rp16 ribu. Pergerakan dari nilai tukar itu jadi salah satu poin penting yang harus diperhatikan. Jadi, saya rasa untuk melihat keputusan BI itu dari pergerakan rupiah,” jelas Winang.
BACA JUGA:
BI menaikkan suku bunga acuan pada Oktober sebagai upaya untuk memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah dari ketidakpastian global.
Selain itu, kenaikan suku bunga juga menjadi langkah pre emptive dan untuk memitigasi dampaknya terhadap imported inflation, sehingga inflasi akan tetap dalam sasaran tiga plus minus satu persen pada sisa tahun 2023 dan 2,5 plus minus satu persen pada tahun 2024.