Suku Bunga BI Naik, Ini Dampaknya di Kehidupan Sehari-hari
Ilustrasi. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

YOGYAKARTA – Bank Indonesia (BI) resmi menaikkan suku bunga acuan (7 Days Reverse Repo Rate/BI7DRRR). Suku bunga BI naik sebesar 25 basis poin (bps) ke level 3,75 persen pada Agustus 2022.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan keputusan bank sentral menaikkan suku bunga acuan didasari oleh Langkah preventif dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi dan inflasi akibat volatilitas harga bahan pangan.

“Ini juga adalah upaya memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya seiring dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang semakin kuat,” kata Perry dalam konferensi pers, Selasa, 23 Agustus.

Suku Bunga BI Naik, Apa Dampaknya Bagi Kehidupan Masyarakat?

Dihimpun VOI dari berbagai sumber, kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia akan langsung dirasakan oleh sektor perbankan.

Perbankan yang kondisi likuiditasnya kurang bagus akan menaikkan suku bunga deposito, dan kredit masyarakat.

Para pengusaha dan juga masyarakat yang memiliki kredit konsumsi, seperti kredit KPR, kredit kendaraan bermotor dan lain sebagainya berpotensi membayar cicilan lebih mahal akibat kenaikan suku bunga acuan.

Tak hanya itu, kenaikan suku bunga akan memberikan pengaruh terhadap kenaikan harga BBM dan dampaknya terhadap inflasi. Diketahui, pemerintah berencana menaikkan harga BBM bersubsidi pada pekan depan.

Ilustrasi Suku Bunga Acuan Naik
Ilustrasi. (Antara)

Dampak negatif lain yang bakal dirasakan masyarakat akibat kenaikan suku bunga acuan adalah imbal hasil surat utang atau surat berharga bakal ikut melonjak mengikuti pergerakan BI7DRRR.

Sementara sisi positifnya, BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps untuk mengelola likuiditas atau peredaran uang di dalam dan luar negeri. Langkah ini bisa menekan inflasi. Menurut teori ekonomi, jumlah uang yang beredar berpengaruh terhadap inflasi. Semakin banyak uang yang beredar, maka inflasi akan semakin tinggi. Sebaliknya, jika jumlah yang yang beredar bisa ditekan, maka tingkat inflasi juga akan menurun.

Menurut laporan Bank Indonesia, jumlah uang beredar pada Juli 2022 tetap tumbuh positif, meski mengalami perlambatan dibandingkan bulan sebelumnya.

Jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) pada Juli tahun ini sebesar Rp7.846 triliun atau tumbuh 9,6 persen secara tahunan (year on year/yoy) ketimbang periode yang sama tahun lalu. Kendati demikian, kondisi likuiditas pada Juli 2022 masih lebih rendah ketimbang Juni 2022 yang berada di level Rp7.888 triliun.

Selain menekan inflasi, kenaikan suku bunga acuan dimaksudkan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Pasalnya, jika suku bunga acuan naik, bunga deposito dan imbal hasil surat berharga akan ikut naik.

Situasi ini diharapkan dapat menarik minat investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Investor akan menukarkan mata uangnya ke rupiah, sehingga nilai tukar rupiah akan menguat. Berdasarkan catatan Bank Sentral, nilai tukar rupiah mengalami penyusutan sebesar 4,72 persen pada Agustus 2022 dibandingkan akhir Desember 2021.

Meski begitu, depresiasi rupiah disebut masih lebih baik ketimbang dengan pelemahan nilai tukar negara lain, seperti India yang terdepresiasi sebesar 6,92 persen, Malaysia 7,13 persen, dan Thailan 7,38 persen.

Demikianlah dampak negatif dan positif suku bunga acuan BI naik. Apabila Bank Sentral tetap mempertahankan suku bunga acuan di level terendahnya, bunga pinjaman memang akan tetap murah, namun berisiko terhadap inflasi.