Bagikan:

JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa penyusunan pos APBN 2024 yang kini tengah dibahas bersama DPR bersifat dinamis dan bukan bersifat tetap. Menurut dia, penyusunan instrumen fiskal sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi terkini, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

“Bagaimana kita bisa mengelola ketidakpastian dan dinamika itu tanpa mengerosi kredibilitas APBN dan memberikan kepastian kepada perekonomian serta kepada program-program pembangunan nasional,” ujarnya di Kompleks Parlemen Senayan saat rapat kerja bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR, Selasa, 19 September.

Menkeu menjelaskan ada sejumlah risiko yang harus terus diwaspadai pemerintah. Pertama, adalah menyangkut proyeksi ekonomi global.

“Kita melihat dua ekonomi dunia terbesar, yaitu Amerika dan China, yang memiliki karakter ketidakpastian. Ini harus diwaspadai karena bakal menimbulkan spillover atau rambatan ke seluruh dunia,” tuturnya.

Kedua, faktor geopolitik dan disrupsi dari rantai pasok yang mempengaruhi harga komoditas penting.

“Yang paling bisa kita lihat adalah harga minyak telah bergerak sekarang di atas 95 dolar per barel, saat baru saja kita naikan asumsinya dari 80 dolar ke 82 dolar per barel,” tegas dia.

Asal tahu saja, pada pembahasan RUU APBN awal bulan ini, Menkeu baru saja mengajukan revisi atas asumsi harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) sudah dikerek dari 80 dolar AS menjadi 82 dolar AS per barel.

“Harga minyak naik dalam beberapa minggu terakhir. Bahkan asumsi sekarang di sekitar 90 dolar per barel. Ini karena dari Arab Saudi maupun Rusia memiliki komitmen untuk menahan atau mengurangi produksi. Bahkan tadi pagi beritanya akan ditahan (produksinya) sampai dengan Desember,” kata Menkeu Sri Mulyani pada 7 September yang lalu.

Sebagai informasi, RUU APBN 2024 telah mencapai kesepakatan dalam pembicaraan tingkat I antara pemerintah dengan Badan Anggaran DPR. Selanjutnya, hasil kesepakatan ini bakal dibawa ke pembicaraan tingkat II untuk diputuskan dalam rapat paripurna DPR.