Bagikan:

JAKARTA - Media sosial TikTok belakangan ini menjadi sorotan karena merambah sebagai e-commerce dan menjual bebagai macam produk. Komisi VI DPR menilai hal ini merugikan para produsen lokal, termasuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Hal tersebut disampaikan Anggota Komisi VI DPR RI Evita Nursanty dalam rapat kerja Komisi VI DPR bersama Menteri Koperasi dan UKM dan Wakil Menteri Pedagangan, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 12 September.

Evita mengatakan harga produk yang ditawarkan penjual di TikTok jauh lebih murah. Bahkan, dianggap tidak masuk akal bagi para pelaku usaha.

“Kadang-kadang harganya tidak masuk akal, ada Madurasa harganya Rp1.000. Itu udah jelas dumping,” kata Evita.

Karena itu, Evita pun meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) turun tangan melakukan pengawasan untuk melindungi pelaku usaha lokal.

“Harusnya ini di Perdagangan. Kalau memang ada itu, ngapain aja mereka, karena boleh saya katakan gagal melakukan pengawasan,” ucapnya.

Meskipun penertrasi teknologi tidak dapat dibendung, Evita menilai Kemendag tetap harus mengontrol perdagangan online, khususnya di media sosial.

Apalagi, sambung dia, TikTok memiliki algoritma yang memprioritaskan produk-produk impor China. Evita menilai hal ini dapat membuat produk UMKM kalah bersaing di rumahnya sendiri.

“Mau jualan apa pun, bagaimana pun dilakukan, jor-joran di TikTok, nggak bakalan, karena pasti produk China bakal lebih laku. Karena itu algoritmanya sudah dimainkan oleh TikTok,” tuturnya.

Senada, Anggota Komisi VI DPR RI Harris Turino menilai pengusaha lokal tidak bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri karena kurangnya keberpihakan dari pemerintah.

“Pasar e-commerce kita sangat besar, tapi yang menikmati adalah pihak lain, sehingga kita tidak menjadi tuan rumah di negeri kita sendiri. Kita tidak mungkin batasi teknologi, tapi dari Kemendag perlu dibikin aturan yang menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap UMKM Indonesia,” kata Harris.