Bagikan:

JAKARTA - Institute For Development of Economics and Finance (Indef) buka suara terkait penerapan cukai minuman bergula dalam kemasan (MBDK) yang akan diterapkan pada 2024 mendatang.

Peneliti Center of Digital Economy and SMEs Indef Nailul Huda mengatakan, ada dua hal yang menjadi acuan diterapkannya kebijakan tersebut.

Pertama, bisa mengurangi beban kesehatan masyarakat dan juga khususnya untuk beban BPJS.

"Tahun kemarin, kajian kami menghitung untuk beban kesehatan yang bisa berkurang dari adanya cukai pemanis," kata Huda kepada VOI, saat ditemui di Gedung Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM), Jakarta, Senin, 14 Agustus.

Kedua, kata Huda, penerapan cukai minuman bergula juga bisa berdampak baik bagi peningkatan penerimaan negara.

"Nah, itu yang kami pandang sebagai hal yang positif dari pemberlakuan cukai itu. Kami dukung (penerapan cukai minuman bergula)," ujarnya.

Meski begitu, Huda tidak menampik adanya keberatan dari sisi industri terhadap penerapan kebijakan tersebut. Menurut dia, kebijakan ini nantinya bisa menghilangkan pendapatan masyarakat.

Oleh karena itu, lanjut dia, INDEF mengusulkan adanya skema di sektor industri untuk menghasilkan produk yang lebih ramah kesehatan. Sehingga, nantinya dikenakan tarif cukai yang lebih rendah pula.

"Jadi, ada insentif bagi industri untuk memproduksi minuman-minuman yang lebih sehat dibandingkan sekarang," tuturnya.

Dalam hal ini, insentif yang dimaksud adalah insentif kebijakan. Apabila di sektor industri bisa memproduksi minuman dengan takaran gula yang lebih rendah, nantinya mereka pun akan dikenakan tarif cukai yang lebih rendah pula.

"Makanya kami bilang ada insentif bagi mereka untuk memproduksi minuman yang lebih sehat, kayak yang di Malaysia atau Thailand, gitu. Jadi, kami mengukur dari situ saja, ada yang dari produknya, terus ada yang dari takaran gulanya. Semakin tinggi takaran gulanya, itu semakin tinggi pula tarif cukainya," imbuhnya.