Bagikan:

JAKARTA – Kementerian Perindustrian mengungkapkan bahwa kontribusi sektor tambang terhadap penerimaan negara terus meningkat seiring dengan kebijakan hilirisasi yang tengah digencarkan pemerintah.

Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif mengatakan sebelumnya ekspor bahan mentah menyumbang Rp17 triliun. Melalui strategi hilirisasi, angka itu melonjak Rp510 triliun ditopang oleh penjualan nikel bernilai tambah.

“Indikator ini sangat jelas menunjukkan bahwa benefit smelter memberi manfaat bagi ekonomi nasional, bukan untuk negara lain. Hadirnya penanaman modal asing (PMA) merupakan pengungkit investasi untuk pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada Minggu, 13 Agustus.

Febri menjelaskan, posisi Indonesia sebagai eksportir utama produk hilir logam nikel terus menguat dalam beberapa tahun terakhir, utamanya setelah kebijakan hilirisasi dan pelarangan ekspor bijih nikel dijalankan.

Disebutkan bahwa ekspor Stainless steel, baik dalam bentuk slab, HRC maupun CRC, menyentuh angka 10,83 miliar dolar AS pada 2022. Jumlah itu naik 4,9 persen dari 2021 yang sebesar 10,32 miliar dolar AS.

Berdasarkan data worldstopexports 2022, Indonesia menjadi eksportir HRC urutan pertama dunia dengan nilai 4,1 miliar dolar AS.

“Ekspor produk hilir dari nikel lainnya juga terus meningkat pesat,” tegas dia.

Tidak hanya itu, Febri menyebut hadirnya nikel di Indonesia juga mampu mengerek PDRB industri di provinsi tempat smelter nikel berada. Sulawesi Tenggara, sebagai produsen nikel terbesar di Indonesia, mengalami pertumbuhan PDRB industri pengolahan sebesar 16,74 persen pada 2022, yang sebagian besar disumbang oleh industri pengolahan nikel.

Kemudian, jika dilihat dari perolehan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sektor logam nikel juga mengalami kenaikan yang signifikan, terutama dari daerah-daerah penghasil nikel seperti Sulawesi Tenggara Rp8,73 triliun, disusul provinsi Maluku Utara Rp6,23 triliun.

“Hadirnya smelter dalam kerangka hilirisasi nikel ini juga memberikan dampak pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di wilayah sekitar smelter,” tuturnya.

“Hilirisasi jangan dilihat dari ownership smelter, baik itu PMA atau PMDN, tetapi lebih ke arah pendekatan nilai tambah ekonomi, sehingga benefit yang dirasakan dengan berjalannya hilirisasi memberikan nilai nyata bagi pembangunan nasional,” tutup Febri.