JAKARTA - Fenomena El Nino yang memicu kekeringan harus diantisipasi sedini mungkin agar tidak berdampak signifikan terhadap ketahanan pangan dan gizi.
Pengamat Pertanian Khudori menilai, dampak El Nino terhadap produksi pangan belum bisa diperkirakan secara pasti.
Pasalnya, berdasarkan informasi yang dirilis BMKG skalanya masih terbilang rendah hingga moderat.
"Mengacu pada El Nino sebelum-sebelumnya, yang paling berat itu periode 1997-1998. Yang terdekat, ya, 2015 dan 2018, tetapi di dua tahun terakhir itu tidak terlalu besar dampaknya," ujar dia saat dihubungi VOI, Kamis, 3 Agustus.
Khudori menyebut, mengacu dari data panjang yang pernah dipetakan, ada potensi penurunan produksi 3-5 persen, terutama padi yang memang memerlukan banyak air.
Sehingga dampak langsung dari fenomena El Nino langsung adalah berkurangnya air untuk budidaya pertanian.
"Semoga skalanya paling tinggi hanya moderat dan dampaknya tidak begitu besar," katanya.
Dia tidak menampik dampak langsung dari El Nino begitu merugikan dibandingkan La Nina.
Sebab, El Nino juga memungkinkan penambahan luas tanam atau panen di lahan-lahan rawa dan pasang surut.
Namun, kata dia, secara umum penambahan itu lebih kecil ketimbang penurunan luas panen akibat kekeringan.
Oleh karena itu, Khudori menegaskan, pentingnya bagi kementerian/lembaga terkait untuk melakukan mitigasi dan antisipasi.
Menurut dia, langkah-langkah struktural yang sering disampaikan, seperti perbaikan irigasi, embung, bendungan dan saluran air.
"Juga pompanisasi, sumur dalam, sumur pantek, sumur artesis, dan lain-lain, yang memungkinkan penyediaan air bagi budidaya pertanian tatkala El Nino terjadi," tuturnya.
Terdapat pula langkah lain yang bisa dilakukan, di antaranya membudidayakan tanaman sesuai dengan ketersediaan air, praktik bertani hemat air, seperti irigasi, jajar legowo, dan sebagainya.
Kemudian, diversifikasi tanaman untuk meminimalkan risiko, merencanakan pola tanam sesuai iklim dan cuaca, serta asuransi pertanian. Artinya, jika gagal panen, pertani mendapatkan ganti rugi.
"Antisipasi dan mitigasi yang direncanakan ini tinggal dipastikan bisa dieksekusi di lapangan dan petani betul-betul bisa disiapkan untuk mengantisipasinya. Jika itu semua dilakukan, mestinya dampaknya tidak terlalu besar," pungkasnya.
Sekadar informasi, BMKG memprediksikan Indonesia akan menghadapi puncak kemarau pada Agustus hingga awal September.
Kondisi ini diprediksi akan jauh lebih kering dibandingkan pada 2020, 2021 dan 2022.
BACA JUGA:
Apabila biasanya curah hujan berkisar 20 mm per hari, pada musim kemarau ini angka tersebut menjadi sebulan sekali atau bahkan tidak ada hujan sama sekali.
BMKG juga menyebut, fenomena El Nino dan fenomena penyimpangan suhu muka laut di Samudra Hindia yang menyebabkan berubahnya pergerakan atmosfer atau disebut indian Ocean Dipole (IOD) positif yang terjadi membuat musim kemarau tahun ini dapat menjadi lebih kering dan curah hujan pada kategori hingga sangat rendah.