Bagikan:

JAKARTA - Penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2023 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2024 pada 28 April 2023 menuai pro kontra di kalangan masyarakat.

Peraturan tersebut tertera Standar Biaya Masukan (SBM) untuk mobil listrik untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Direktur Eksekutif Center for Research on Ethics Economy and Democracy (CREED), Yoseph Billie Dosiwoda menilai, publik salah tafsir terkait penerapan SBM dalam PMK Nomor 49/2023 ini.

Yoseph menekankan, SBM mobil listrik ini bukan bentuk alokasi pengadaan proyek.

Melainkan pengaturan untuk batas atas pada pagu penganggaran yang dapat diajukan kementerian atau lembaga (K/L) untuk pengadaan kendaraan listrik.

"Jadi publik jangan salah menafsirkan bila pemerintah melakukan pemborosan, justru SBM ini standar biaya pagu anggaran yang berfungsi memberikan payung hukum jika ada instansi pemerintah yang ingin mengajukan," tutur Yoseph kepada wartawan, Senin, 22 Mei.

Pasal 2 huruf a dan b PMK No. 49/2023 mengatur mengenai batas maksimal atau estimasi anggaran yang dapat diajukan K/L.

Terlampir, untuk motor listrik anggaran maksimalnya adalah Rp28 juta per unit dan kendaraan listrik untuk operasional kantor maksimal Rp430 juta.

Sedangkan pengadaan mobil listrik untuk eselon I maksimal Rp967 juta, sementara untuk eselon II maksimal Rp746 juta.

"Penerapan SBM ini memberikan batasan harga tertinggi dalam pengadaan kendaraan listrik, artinya besarannya tidak dapat dilampaui. Ini semua demi menjaga efisiensi anggaran pada APBN," ujar Yoseph.

"Dalam hal ini sepertinya pemerintah juga mau membuka ruang bagi yang ingin menerapkan pengadaan mobil listrik, namun dengan batasan anggaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui PMK tersebut," sambungnya.

Dia menjelaskan, beleid SBM mobil listrik ini, bila dilihat dari aspek relasi dengan kebijakan lain, sebenarnya memiliki tujuan positif.

Pertama, mengurangi emisi karbon di ruang publik sebagai bentuk dukungan pada pemerintah yang telah meratifikasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change.

Kedua, peraturan ini sekaligus dapat mendorong pertumbuhan industri mobil listrik di Indonesia yang mulai bergairah.

"Artinya peraturan ini sekaligus mendukung aktivitas sektor ekonomi di belakang industri mobil listrik. Di mana mobil listrik ini membutuhkan komponen industri nikel yang sangat besar untuk kebutuhan baterai dan keberlangsungan hidup para buruh yang bekerja di sektor ini," tutur Yoseph.

"Jadi sasaran kebijakan ini memiliki visi yang mengakomodir hajat hidup orang banyak, yaitu untuk memastikan bahwa lapangan pekerjaan bagi para buruh yang bekerja di industri mobil listrik bisa tetap tersedia," imbuhnya.