Bagikan:

JAKARTA - Dominasi China di pasar kendaraan listrik global telah menimbulkan kekhawatiran di banyak negara. Kualitas produk mobil listrik dari China kini mampu bersaing dan harganya lebih terjangkau.

Produsen otomotif China, seperti BYD misalnya, berambisi memasuki pasar Eropa dengan menawarkan mobil murah namun berkelas, seperti model Seagull. Di China, Seagull dijual seharga 69.800 yuan (sekitar Rp160 juta). Jika masuk ke Eropa, harganya diperkirakan akan naik dua kali lipat karena aturan keselamatan yang ketat. Meski demikian, harga tersebut masih dianggap terjangkau di pasar Eropa.

Fenomena ini memicu kekhawatiran di industri otomotif Eropa, khususnya di segmen kendaraan listrik, yang khawatir tidak mampu bersaing dengan produsen China. Perusahaan otomotif Eropa mengklaim bahwa subsidi besar yang diberikan untuk produksi dalam negeri memungkinkan produsen China menjaga harga di tingkat yang sulit disaingi.

Dilansir dari BBC International, Selasa, 11 Juni, pabrikan seperti BYD dapat memproduksi mobil dengan biaya 25 persen lebih rendah dibandingkan produsen mobil global lainnya. Hal ini memungkinkan mereka untuk bersiap menaklukkan pasar global dengan kendaraan listrik berteknologi canggih dan biaya rendah.

Untuk mencegah hal ini, Uni Eropa kemungkinan akan meniru pendekatan Amerika Serikat (AS) dengan menetapkan tarif bagi kendaraan listrik dari China, namun lebih proporsional. Pakar dari Schmidt Automotive Research, Matthias Schmidt, menyatakan bahwa Uni Eropa harus menetapkan tarif kurang dari 25 persen untuk mengurangi keuntungan produsen China sebesar 30 persen tanpa menghambat inovasi atau persaingan.

“Jika UE mengenakan tarif tidak lebih dari 25 persen, hal ini akan menyamakan kedudukan dan mengurangi keuntungan biaya sebesar 30 persen yang dimiliki produsen China,” kata Schmidt.

Namun, rencana penetapan tarif ini disambut kurang baik oleh sejumlah produsen besar otomotif di Eropa. CEO Volkswagen Oliver Blume, memperingatkan bahwa tarif ini bisa berbahaya karena dapat memicu pembalasan dari produsen China. Sementara CEO BMW Group Oliver Zipse, berpendapat bahwa keputusan ini berisiko dan tidak perlu adanya perlindungan dari persaingan kendaraan listrik China. Lalu, CEO Mercedes-Benz Ola Kallenius, menyarankan agar tarif impor kendaraan listrik China justru diturunkan untuk mendorong persaingan yang lebih sehat.

Sebelumnya, Uni Eropa meluncurkan penyelidikan antisubsidi terhadap impor kendaraan listrik berbasis baterai (BEV) dari China pada Oktober 2023. Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, menuding bahwa kendaraan listrik China yang diimpor akan membanjiri Eropa dan mendistorsi pasar otomotif.

Penerapan tarif ini adalah hasil dari investigasi resmi yang dimulai pada 4 Oktober 2023 dan dapat memakan waktu hingga 13 bulan. Komisi Eropa dapat mengenakan bea anti-subsidi sementara sembilan bulan setelah dimulainya penyelidikan.

Komisi Eropa juga telah memperingatkan tiga produsen kendaraan listrik China bahwa mereka belum memberikan informasi yang cukup untuk penyelidikan anti-subsidi. Sementara itu, bulan lalu, pemerintah AS merespons gempuran kendaraan listrik dari China dengan menaikkan tarif impor mobil bertenaga listrik dari 25 persen menjadi 100 persen. Langkah ini merupakan bagian dari upaya mengurangi distribusi dari produsen China.