Bagikan:

JAKARTA - Emiten energi panas bumi PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) berpeluang menunda ekspansi lantaran terlilit utang sehingga liabilitas membengkak.

Pada 30 September 2022, utang perusahaan mencapai 1,13 miliar dolar AS yang didominasi utang bank jangka pendek sebesar 617,22 juta dolar AS setara Rp9,3 triliun dengan asumsi kurs Rp15.088 per dolar AS pada 29 Maret 2023.

Utang yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat tersebut melonjak 292,68 persen dari posisi Desember 2021. Atas kondisi ini, sejumlah analis menilai PGEO berisiko gagal ekspansi lantaran harus melunasi utangnya.

Analis Panin Sekuritas Andhika Audrey mengatakan utang 617 juta dolar AS ini membebani rencana ekspansi PGEO.

"Ada perubahan utang jangka panjang PGEO menjadi jangka pendek senilai 617 juta dolar AS ini berpotensi menggerus kantong perseroan," katanya kepada media, Kamis, 30 Maret.

Padahal, anak usaha PT Pertamina (Persero) ini sebelumnya menjanjikan dana hasil penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) sebesar Rp9,05 triliun untuk ekspansi wilayah kerja panas bumi (WKP) dan membayar utang. Komposisinya 85 persen untuk ekspansi WKP dan sisanya untuk bayar utang.

"Namun, berhubung adanya utang jangka pendek yang jatuh tempo, peluang ekspansi untuk pembangunan kapasitas terpasang 600 Megawatt ini berpotensi tertunda," kata Andhika.

Jika dirinci, total utang bank jangka pendek tersebut terdiri atas pinjaman dari PT Bank Mandiri (Persero) Tbk sebesar 105 juta dolar AS, MUFG Bank Ltd, Jakarta Branch sebesar 105 juta dolar AS, dan PT Bank UOB Indonesia juga 105 juta dolar AS.

Berikutnya, berasal dari PT Bank HSBC Indonesia sebesar 82,5 juta dolar AS, Australia and New Zealand Banking Group Limited Singapore Branch 75 juta dolar AS, PT Bank BTPN Tbk (BTPN) senilai 52,5 juta dolar AS, Sumitomo Mitsui Banking Corporation Singapore Branch senilai 52,5 juta dolar AS, dan The Hong Kong and Shanghai Bank Corporation Limited senilai 22,5 juta dolar AS.

Mengingat banyaknya kreditur yang teribat dalam utang jangka pendek ini, proses refinancing atau restrukturisasi pun dinilai akan sulit dicapai.

Andhika menegaskan, utang jatuh tempo itu bakal menjadi faktor penunda pembangunan kapasitas terpasang sendiri perseroan menjadi 1.200 MW.

Bisnis panas bumi, paparnya, juga merupakan bisnis padat modal dan dengan jangka waktu yang relatif tidak sebentar.

"Win rate atau rasio kesuksesan dari pengeboran untuk mendapatkan panas bumi ini masih 50:50," jelas Andhika.