Bagikan:

JAKARTA - Sejumlah kalangan menilai manajemen PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) perlu memperbaiki kinerja operasional di saat perseroan terus memperbanyak utang untuk menutup utang jangka pendek (refinancing).

Perbaikan kinerja itu harus dilakukan perseroan saat utangnya kian menumpuk. Saat ini tercatat total utang PGEO mencapai 943,28 juta dolar AS terdiri dari pinjaman bank jangka panjang setelah dikurangi bagian yang akan jatuh tempo dalam satu tahun senilai 327,7 juta dolar AS. Sedangkan utang jangka pendek PGEO tercatat masih sekitar 615,58 juta dolar AS.

Pengamat Energi Ahmad Kurtubi mengakui masih ada sejumlah permasalahan yang terjadi pada bisnis Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP). Menurutnya perseroan perlu memperbaiki kinerja beberapa PLTP yang belum menghasilkan secara optimal.

Kurtubi mengamini bahwa salah satu aset milik PGEO yaitu PLTP Karaha belum juga mampu membukukan keuntungan karena tingginya beban yang harus ditanggung akibat teknologi yang tertinggal dibandingkan dengan pengembangan geothermal di negara lain.

"Permasalahan terutama dari sisi hulu yang memang masih belum efisien. Jadi harus dikembangkan dulu teknologinya," ujarnya kepada wartawan, dikutip Minggu 7 Mei.

Dari sisi industri, menurutnya pengembangan PLTP di dalam negeri sangat lambat, padahal secara teknis umum, proses eksplorasi dan eksploitasinya sangat mirip dengan migas, yakni pengeboran.

"Padahal Pertamina ahli dalam hal ini, tapi kenapa sulit untuk mengembangkan bisnis geothermal-nya," kata Kurtubi.

Menurut Kurtubi, Indonesia dapat mencontoh Islandia yang berhasil mengembangkan bisnis geothermal dengan optimal sehingga dapat menguntungkan.

“Saya melihat seharusnya ada investasi untuk meningkatkan kualitas SDM-nya sehingga dapat mengembangkan teknologi dan berdampak pada efisiensi," jelas Kurtubi.

Dalam laporan keuangan PGEO dipaparkan bahwa operasional PLTP Karaha terus membukukan kerugian yang mendalam dengan mencatatkan rugi tahun berjalan sepanjang medio 2020-2022 masing-masing sebesar 13,73 juta dolar AS, 12,52 juta dolar AS, dan 9,74 juta dolar AS.

Hal ini diakibatkan oleh beban pokok pendapatan PLTP Karaha yang tinggi dengan nilai mencapai 15,06 juta dolar AS pada 2020, 16,24 juta dolar AS pada 2021 dan 15,44 juta dolar AS pada 2022.

Sedangkan, pendapatan usaha hasil penjualan listrik dari PLTP Karaha pada periode yang sama hanya sekitar 7,32 juta dolar AS, 6,94 juta dolar AS, dan 7,05 juta dolar AS.

Dengan begitu, rasio biaya terhadap pendapatan (BOPO) PLTP Karaha senilai 205,74 persen, 234 persen, dan 219,01 persen. Padahal BOPO yang baik, maksimal 85-85 persen.

Melansir laman resmi perseroan, PLTP Karaha Unit I berkapasitas 30 MW yang telah beroperasi secara komersial pada 6 April 2018. Adapun total investasi pembangkit listrik milik anak usaha Pertamina tersebut mendekati 200 juta dolar AS.

Jauh sebelum itu, penghentian kegiatan usaha PLTP Karaha pada tahun 1998 akibat krisis moneter mengakibatkan adanya tuntutan dari Karaha Bodas Company (KBC), kontraktor proyek pembangkit listrik tersebut. Keputusan itu mendorong KBC menuntut Pertamina dan pemerintah untuk membayar ganti rugi.

Pascapenghentian kegiatan operasi, KBC menggugat arbitrase Pertamina. Usai menjalani berbagai proses persidangan, Pengadilan Cayman Islands memutus bersalah Pertamina karena terbukti melanggar kontrak kerja sama dan menghukum ganti rugi 315 juta dolar AS.

Belum usai menanggung pahitnya kerugian di masa lalu, PGEO kembali menerbitkan surat utang jumbo sekitar 400 juta atau sekitar Rp6 triliun. Bukan untuk kegiatan operasional, seluruh emisi obligasi ini akan digunakan perseroan untuk membayar utang kembali (refinancing) yang akan jatuh tempo pada Juni 2023.

Nilai surat utang global yang akan diterbitkan diperkirakan mewakili 20-50 persen dari ekuitas perseroan setelah IPO. Mengacu pada laporan keuangan per 31 Desember 2022, total ekuitas PGEO mencapai 1,25 miliar dolar AS. Dengan demikian, 20-50 persen dari jumlah tersebut berkisar antara 251 juta dolar AS hingga 627 juta dolar AS.