Bagikan:

JAKARTA - Perbankan dinilai sudah tak tertarik membiayai bisnis pengembangan panas bumi yang dijalankan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO).

Untuk itu, PGEO berencana menerbitkan surat utang atau obligasi berwawasan hijau alias green bonds di luar wilayah Indonesia untuk refinancing utang jangka pendek yang diberikan sindikasi perbankan.

Pengamat Pasar Modal dan CEO Finvesol Consulting Fendy Susianto mengatakan, dari kacamata perbankan, sektor energi panas bumi yang dijalankan perseroan memiliki risiko investasi tinggi. Di sisi lain bisnis yang dioperasikan PGEO dinilai tidak atraktif bagi pendana.

“Dari segi business-to-business (B2B) terutama dari sisi perbankan, bisnis panas bumi ini risikonya tinggi, return yang ditawarkan juga kurang menarik. Jadi wajar kalau sulit dapat pendanaan,” ujarnya kepada wartawan, dikutip Kamis 27 April.

Manajemen PGEO sendiri menuliskan dalam prospektus perseroan bahwa, secara historis dana untuk menjalankan kegiatan operasional didapat melalui pinjaman pemegang saham.

“Yaitu Pertamina serta dana hibah proyek pembangunan dari Japan International Cooperation Agency (JICA) serta Bank Dunia,” kata Dirut PGEO Ahmad Yuniarto dalam prospektusnya.

Singkatnya, kata Fendy, PGEO belum mampu menarik minat perbankan.

“Kalaupun ada bank yang kasih pinjaman, tidak akan bertahan lama dalam memberikan pinjaman karena risiko bisnisnya terlalu tinggi,” papar Fendy.

Lebih lanjut Fendy turut mempertanyakan mengapa PT Bank Mandiri (Persero) Tbk tidak memberikan fasilitas pinjaman dalam proses refinancing PGEO. Padahal keduanya memiliki dukungan afiliasi dan pernah menjadi agen fasilitas pinjaman sindikasi PGEO pada 2021.

“Kalau memang bisnis PGEO bagus, kenapa tidak refinancing dari Mandiri atau bank lainnya di dalam maupun luar negeri yang bisa memberikan fasilitas pinjaman valas? Artinya perbankan sudah tidak berada pada posisi yang agresif untuk mendanai perusahaan itu sebab eksposur risikonya bertambah.”

Baru-baru ini PGEO mengumumkan rencana penerbitan surat utang luar negeri sebesar 400 juta dolar AS atau sekitar Rp6 triliun dengan kupon 5,15 persen per tahun yang jatuh tempo pada tahun 2028. Dana ini akan digunakan untuk membayar utang kembali (refinancing) dengan besaran yang sama dengan nilai emisi obligasi.

Hanya saja bunga pinjaman yang diraih sebelumnya lebih rendah dari kupon obligasi kali ini. Sehingga besar kemungkinan biaya bunga yang dikeluarkan perseroan akan lebih tinggi.

“Dengan begitu PGEO harus menghadapi interstate pay differential adjustment (penyesuaian atas perbedaan biaya),” tutup Fendy.