JAKARTA - Sejumlah persoalan membelit PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) dalam rencana penerbitan surat utang berwawasan hijau alias green bonds yang bakal digunakan untuk membayar utang kembali (refinancing).
Fundamental Analyst PT Kanaka Hita Solvera Raditya Krisna Pradana mengatakan setidaknya terdapat dua risiko yang akan dihadapi PGE dalam aksi korporasi kali ini. Pertama perseroan akan menghadapi ketidakpastian apakah obligasi yang ditawarkan berhasil diserap semua atau tidak.
Pasalnya, kata Raditya, jumlah kebutuhan dana yang ingin diperoleh dari penerbitan obligasi ini cukup besar, yakni senilai US$400 juta atau sekitar Rp6 triliun. Belum lagi dana tersebut harus didapatkan dalam waktu yang singkat.
“Dibilang singkat karena akan digunakan sebagai refinancing utang yang akan jatuh tempo pada Juni tahun ini, hanya sekitar satu bulan,” ujarnya kepada wartawan, dikutip Rabu 26 April.
Kedua, lanjut Raditya, PGEO akan sulit mendapatkan kupon obligasi yang lebih rendah dibandingkan dengan bunga pinjaman sebelumnya. Mengingat kondisi ekonomi global saat ini yang penuh dengan tantangan likuiditas.
Jika dihitung, mengacu pada LIBOR rate 3 bulan 2021 hanya sekitar 0,16% dan ditambah margin terbesar pada perjanjian fasilitas per 23 Juni 2021 sebesar 0,7 persen, maka bunga pinjaman PGEO saat itu tidak lebih dari 3 persen. Sedangkan bunga kupon green bonds yang akan dirilis PGEO kali ini sebesar 5,15% per tahun.
Beban bunga yang dikenakan atas perjanjian pada saat itu adalah LIBOR 3 bulan ditambah margin dan dibayarkan pada akhir periode bunga, di mana margin untuk bulan 1-12 sekitar 0,5 persen untuk offshore dan 0,6 persen untuk onshore. Sementara marjin untuk bulan 19-24 sekitar 0,6-0,7 persen.
BACA JUGA:
“Apabila kupon obligasi yang akan dipakai untuk bayar utang itu lebih besar dari bunga utangnya sendiri, bisa dibilang PGEO rugi dalam penerbitan global bonds ini,” ungkapnya.
Dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), PGEO mengumumkan rencana penerbitan green bonds di luar wilayah Indonesia sebesar 400 juta dolar AS atau sekitar Rp6 triliun. Kupon dalam obligasi ini sebesar 5,15 persen per tahun yang jatuh tempo pada 2028.
Perseroan memang tengah mengejar dana jumbo untuk membayar sisa utang sekitar Rp6 triliun dalam fasilitas kredit berupa bridge loan yang akan segera jatuh tempo dalam waktu dekat ini. Fasilitas kredit ini dirilis pada Juni 2021 lalu dengan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) sebagai facility agent.