JAKARTA - Sejumlah pengamat menilai utang pengembangan terhadap anak usaha Pertamina berisiko gagal bayar menyusul keputusan investasi jangka panjang yang dibiayai dengan pembiayaan short term.
Board of Director of the International Geothermal Association (IGA) Surya Darma mengatakan investasi PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) merupakan investasi jangka panjang. Semua sepakat jika hasil investasi bisnis panas bumi belum akan dinikmati dalam 5-10 tahun mendatang.
Dia menegaskan bahwa PGEO memiliki risiko gagal bayar utang akibat besarnya kebutuhan modal untuk menjalankan bisnis geothermal. Utang dinilai menjadi salah satu penopang agar bisnis dengan model capital intensive layaknya PGEO ini dapat bertahan.
Akibatnya, lanjut Surya, perseroan harus mencari jalan untuk meningkatkan modal, salah satunya melalui IPO, di mana salah satu alokasi penggunaan emisi untuk membayar utang alias refinancing. “Kalau cari uang tambahan investasi bisa dengan IPO, namun tidak akan banyak. Jadi harus tetap berutang,” ujarnya kepada wartawan, Selasa, 14 Maret.
Maka dari itu, Surya meminta PT Pertamina (Persero) untuk mewaspadai sejumlah risiko adanya sejarah ambang kebangkrutan perseroan akibat ekspansi pada era 70-an.
Dalam pengembangan perseroan, seperti tertulis dalam laporan keuangan perseroan 2021, total utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) minyak dan gas itu mencapai 19,9 miliar dolar AS atau sekitar Rp283,87 triliun (kurs Rp14.265 per dolar AS) per akhir tahun 2021, setara dengan 14,11 persen realisasi pendapatan negara pada APBN 2021 sebesar Rp2.011,3 triliun.
Persoalan muncul saat pelepasan saham anak usaha, seperti IPO PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) yang bisa menjadi risiko baru bagi perseroan.
“Jika salah kelola, negara juga harus menelan pil pahit,” paparnya.
BACA JUGA:
Jangan sampai, lanjut Surya, manajemen Pertamina yang saat ini dinakhodai Nicke Widyawati mengikuti jejak Ibnu Sutowo yang pernah membuat perusahaan minyak nasional itu berada diambang kebangkrutan.
Mengutip The New York Times terbitan 17 November 1977 berjudul Pertamina: Pelajaran untuk Perbankan Dunia, menegaskan bahwa sistem perbankan internasional nyaris terdampak kebangkrutan negara monopoli minyak.
Pertamina hampir memicu serangkaian gagal bayar atas pinjaman bank asing senilai setidaknya 6,5 miliar dolar AS. Saat itu, Pertamina dinyatakan tidak mampu membayarnya pada awal 1975. Beberapa bank mendesak pemerintah untuk menutupi utang perusahaan minyak tersebut dengan tenor 365 hari itu.