JAKARTA - Pasar industri asuransi di Indonesia dinilai masih menguntungkan karena jumlah penduduk yang memahami pentingnya perlindungan asuransi masih minim. Namun potensi tersebut belum diimbangi dengan edukasi yang memadai di masyarakat.
"Saat ini banyak perusahaan yang kurang 'prudent' dalam mengelola produk asuransi, terutama untuk jenis unit link. Perusahaan juga salah kaprah dalam memasarkan asuransi yang lebih mengutamakan peluang investasi ketimbang manfaat proteksinya," kata pengamat Asuransi Irvan Rahardjo, dikutip dari Antara, Selasa 29 September.
Menurut Irvan, unit link merupakan salah satu jenis produk asuransi yang memiliki risiko dari yang rendah hingga tinggi. Hal ini yang harus dipahami baik perusahaan asuransi dan juga masyarakat yang ingin membeli produk asuransi.
Perusahaan harus menyampaikan risiko produknya, sementara masyarakat juga harus memahami risiko tersebut. Ia menambahkan, industri asuransi termasuk sektor yang memiliki sejumlah peraturan ketat, namun dari sisi pengawasan masih lemah.
Salah satu bukti lemahnya pengawasan di industri ini yaitu perusahaan asuransi yang saat ini bermasalah. Sebut saja Jiwasraya, di mana perusahaan asuransi pelat merah ini sedang bermasalah akibat produk Saving Plan-nya.
Buntutnya, ekuitas perusahaan minus Rp36 triliun dan klaim para nasabah Saving Plan hingga saat ini belum juga jelas. Persoalan Jiwasraya belum selesai, muncul lagi kasus PT Asuransi Jiwa Kresna atau Kresna Life.
BACA JUGA:
Total klaim nasabah yang belum dibayarkan oleh asuransi jiwa Grup Kresna ini disebut nilainya mencapai Rp6,4 triliun. Nilai tersebut merupakan milik dari 8.900 nasabah dan 11.000 polis yang yang saat ini bermasalah di asuransi tersebut.
Masih ada kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha (WanaArtha Life). Wanaartha sudah tidak melakukan pencairan polis jatuh tempo sejak Februari 2020 dan tidak membayar manfaat tunai 50 persen sejak Maret 2020 sampai saat ini.
Untuk itu, Irvan meminta kepada semua pihak untuk lebih membangun industri asuransi ini secara sehat dan transparan. Selain itu, peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga harus lebih maksimal.
"Secara berkala, triwulan dan tahunan ada bermacam-macam laporan dari manajemen risiko, laporan keuangan namun sangat lemah berkaitan dengan kajian pengawasan," ujar Irvan.