JAKARTA - Kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (AJS) menjadi perhatian publik. Salah satunya karena jumlah kerugian yang begitu besar Rp13,7 triliun.
Usulan pembentukan panitia khusus (Pansus) Jiwasraya pun menguat. Bahkan, pada rapat paripurna pembukaan masa sidang ke-II DPR RI tahun 2019-2020, juga dihujani interupsi mengenai hal tersebut.
Setidaknya, ada tiga anggota DPR menyuarakan perihal wacana pembentukan Pansus PT Asuransi Jiwasraya dan sejumlah pansus lainnya. Wakil ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad pun mengamini, karena sebagian besar fraksi di DPR menyetujui pembentukan pansus tersbeut.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, perlu dilihat lebih detail apa tujuan dari pembentukan pansus ini. Jika hanya bertujuan politis, kata dia, tidak akan mampu menyelesaikan masalah kerugian yang ditimbulkan dari kasus gagal bayar Jiwasraya.
"Tergantung pembentukan pansusnya apa. Kalau pansusnya bertujuan gagah-gagahan dalam politik nanti ending-nya politik saja. Kalau bisa memaksa pengembalian dana nasabah, itu baru keren," tuturnya, saat ditemui di Kantor YLKI, Jalan Duren Tiga, Jakarta Selatan, Selasa,14 Januari.
Yang paling penting saat ini menurut Tulus, pembentukan Pansus Jiwasraya jangan sampai mengaburkan masalah pengembalian dana nasabah. "Untuk apa dibentuk pansus kalau kemudian dana nasabah yang sudah ditanamkan itu hilang atau tidak kembali," jelasnya.
Menurut Tulus, nasabah Jiwasraya telah menanamkan uangnya dan mengikuti prosedur yang ada. Namun, uangnya tidak bisa diklaim.
"Saya kira dibentuk pansus atau apapun silakan, yang jelas konsumen sebagai pengguna bisnis invetasi ini harus dibayarkan hak-haknya. Karena ini menjadi tanggungjawab," ucapnya.
Tulus menuturkan, YLKI tahun 2019 menerima pengaduan sebanyak 1.871 pengaduan konsumen. Dibagi menjadi dua kategori, individual sebanyak 563 kasus dan kelompok atau kolektif sebanyak 1.308 kasus. Adapun 21 di antaranya adalah masalah asuransi.
Terkait dengan kasus gagal bayar Jiwasraya, Tulus menjelaskan, pengaduan yang masuk ke pada pihaknya hanya satu. Sebab, YLKI sebenarnya meng-handle kasus pengaduan konsumen akhir. Sementara, permasalahan konsumen Jiwasraya ini adalah permasalahan antara konsumen dan pelaku usaha, karena terkait dengan tempat bisnis invetasi.
Menurut Tulus, masalah gagal bayar ini bukan hanya tanggung jawab pihak Jiwasraya, namun juga pihak terkait seperti bank yang memasarkan produk tersebut. Sebab, dalam memasarkan produknya Jiwasraya melakukan kerja sama dengan beberapa bank.
"Karena mereka memasarkan produknya melalui kerja sama dengan bank. Sudah tahu produknya tidak capable, bank harus ikut bertanggung jawab. Ini juga OJK dan satgas investasi layak dimintai pertanggung jawaban," tuturnya.
Tulus menjelaskan, saat ini penting adanya lembaga penjamin asuransi. Sehingga kalau terjadi kasus seperti Jiwasraya atau kasus lainnya yang punya potensi sama, uang yang diinvetasikan konsumen bisa dikembalikan. Namun, Tulus justru mempertanyakan mengapa Jiwasraya tak memiliki reasuransi.
"Apakah karena memang dia berupa produk investasi. Mestinya semua perusahaan asuransi akan mereasuransikan kembali konsumen asuransi ya sebagai bentuk back up kalau mengalami gagal bayar," jelasnya.
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI bersama Kejaksaan Agung (Kejagung) RI telah mengungkap hasil investigasi awal kasus gagal bayar polis asuransi Jiwasraya.
Kepala BPK RI Agung Firman Sampurna menuturkan, penyebab gagal bayarnya polis asuransi JS Saving Plan Jiwasraya karena salahnya penempatan portofolio investasi.
Jiwasraya dikabarkan menyebar investasi pada instrumen saham dan reksa dana yang berkualitas rendah dan berisiko tinggi alias saham gorengan.
"Saham-saham yang berisiko ini mengakibatkan negative spread dan menimbulkan tekanan likuiditas pada PT Asuransi Jiwasraya yang berujung pada gagal bayar," kata Agung di Kantor BPK RI, Jakarta, Rabu, 8 Januari.