Bagikan:

JAKARTA - PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) terancam gagal bayar (default) utang jangka pendek 617 juta dolar AS yang jatuh tempo Juni 2023 mendatang menyusul saldo kas dan perolehan laba tahun berjalan 2022 tak mencukupi untuk menambal utang tersebut.

“Kalau hanya mengandalkan kas dan laba saja bisa dipastikan akan gagal bayar (default),” ujar Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Muhammad Nafan Aji Gusta Utama, dikutip Jumat 14 April.

Sependapat, Head of Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan PGEO memang tak akan sanggup menutup utang tersebut jika mengandalkan kas dan setara kas.

Mau tak mau, emiten panas bumi Pertamina ini harus menyiapkan opsi lain semisal dengan meminjam ke induk, atau melakukan negosiasi dengan kreditur.

"Dengan catatan banknya relatif cukup fleksibel untuk diperpanjang dibanding misalnya yang jatuh tempo adalah obligasi dimana kalau tidak bayar sesuai tanggal jatuh tempo hitunganya default," kata Wawan.

Sementara pengamat CELIOS Bhima Yudhistira menilai bukan hanya perkara kas dan setara kas yang minim saja permasalahan yang dihadapi PGEO, melainkan juga isu lingkungan.

"Bukan hanya soal utang tapi juga soal penolakan masyarakat di sekitar proyek geothermal yang masih berlanjut. PGEO harus memastikan proses yang diklaim sebagai energi terbarukan bebas dari konflik dengan masyarakat hingga memenuhi aspek dampak lingkungan yang baik," kata Bhima.

Tercatat, laba tahun berjalan perseroan per 31 Desember 2022 mencapai 127,3 juta dolar AS atau naik 49,7 persen dari posisi 31 Desember 2021 sebesar 85 juta dolar AS. Perolehan laba tersebut terdorong oleh top line atau pendapatan yang naik 4,6 persen dari 368,8 juta dolar AS di 2021 menjadi 386,1 juta dolar AS di 2022, seiring penjualan karbon kredit sebagai pendapatan baru. Namun kontribusinya masih sangat minim, baru sekitar 747.000 dolar AS atau 0,19 persen dari total pendapatan.

Sementara saldo kas setara kas perseroan per 31 Desember 2022 tercatat sebesar 262,3 juta dolar AS, naik 109,3 persen dari posisi 31 Desember 2021 sebesar 125,3 juta dolar AS.

Meski saldo kas setara kas bertambah, namun jika ditambahkan dengan seluruh laba tahun berjalan pun masih belum bisa menutupi utang jangka pendek.

Jika dirinci, total utang bank jangka pendek tersebut terdiri atas pinjaman dari PT Bank Mandiri (Persero) Tbk sebesar 105 juta dolar AS, MUFG Bank Ltd, Jakarta Branch sebesar 105 juta dolar AS, dan PT Bank UOB Indonesia juga 105 juta dolar AS.

Berikutnya dari PT Bank HSBC Indonesia sebesar 82,5 juta dolar AS, Australia and New Zealand Banking Group Limited Singapore Branch 75 juta dolar AS, PT Bank BTPN Tbk (BTPN) senilai 52,5 juta dolar AS, Sumitomo Mitsui Banking Corporation Singapore Branch senilai 52,5 juta dolar AS dan The Hong Kong and Shanghai Bank Corporation Limited senilai 22,5 juta dolar AS.

Mengingat banyaknya kreditur yang teribat dalam utang jangka pendek ini, proses refinancing atau restrukturisasi pun dinilai akan sulit dicapai.

Asal tahu, utang jangka pendek ini bermula saat perseroan mengambil fasilitas bridge loan dari sejumlah bank yang tergabung dalam mandate lead arranger (MLA) pada 23 Juni 2021. Fasilitas bridge loan tersebut memiliki plafon 800 juta dolar AS bertenor 1 tahun dengan opsi perpanjangan maksimal 1 tahun dengan dikenai biaya perpanjangan yang menjadi biaya tetap sebesar 0,15 persen dari jumlah partisipasi setia MLA. Perseroan melakukan perpanjangan di mana jatuh tempo pinjaman ini diperpanjang sampai dengan Juni 2023.