JAKARTA – Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa pemerintah kini masih terus mematangkan revisi PP Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang diharapkan menjadi solusi penguatan valuta asing (valas) di dalam negeri.
Menurut Airlangga, pembaruan beleid tersebut merupakan upaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan langkah pengendalian inflasi yang disebabkan oleh impor.
“Dalam hal ini tentu likuiditas (valas) menjadi penting,” ujarnya melalui saluran virtual dalam Kick Off Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) 2023, Minggu, 5 Maret.
Airlangga menjelaskan, revisi PP 1/2019 akan difokuskan pada 13 poin penting, yaitu produk SDA yang diatur, semua DHE dan hilirisasi SDA diwajibkan masuk sistem keuangan Indonesia, nilai ekspor lebih dari 250.000 dolar AS wajib masuk ke bank atau LPEI, DHE SDA harus masuk ke rekening khusus paling lambat tiga bulan.
Kemudian, aturan tentang rekening khusus, wajib disimpan 30 persen dari nilai penerimaan DHE, jangka waktu penyimpanan DHE sampai dengan 90 hari, wajib dikonversi ke rupiah, metode penghitungan DHE dilakukan bulanan, pemberian tarif pajak khusus.
BACA JUGA:
Lalu, insentif dari BI berupa pengecualiaan giro wajib minimum (GWM), penetapan sanksi, dan yang terakhir adalah aturan soal masa transisi tiga bulan sejak aturan diberlakukan.
“DHE ini juga memperkecil dampak importasi dari bahan bakar minyak dan memperkuat stabilitas perekonomian kita,” tutur Airlangga.
Sebagai informasi, isu devisa hasil ekspor pertama kali didapati oleh Bank Indonesia yang menilai peningkatan nilai ekspor tidak disertai dengan masuknya aliran modal asing, utamanya dolar, secara signifikan ke dalam negeri.
Usut punya usut, para eksportir lebih senang memarkir dananya di luar negeri lantaran imbal hasil yang menarik. Oleh karena itu, revisi terhadap PP 1/2019 diharapkan bisa menjadi dasar menggaet valas ke dalam negeri.