Bagikan:

JAKARTA – Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suminto mengungkapkan bahwa realisasi penarikan utang maupun rencana pembiayaan keuangan negara merupakan bagian dari kesepakatan pemerintah bersama DPR.

Menurut Suminto, hal itu terekam jelas dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang proses perencanaan, pembahasan, hingga pengesahan dilakukan bersama antara eksekutif dan legislatif. Oleh karena itu dia berupaya menepis tendensi negatif bahwa utang sepenuhnya dibuat oleh pemerintah, utamanya Kementerian Keuangan.

“Kami selalu menyampaikan bahwa ketika pemerintah berutang bukan karena pemerintah suka utang. Kalau kita melihat APBN, berapa jumlah pemerintah harus berutang itu sebenarnya residual dari kebijakan APBN kita,” ujarnya saat memenuhi undangan rapat kerja dengan Komisi XI DPR, dikutip Rabu, 8 Februari.

Suminto menyatakan, penarikan utang merupakan konsekuensi dari defisit anggaran yang telah disepakati untuk membiayai penyelenggaraan negara dalam satu tahun periode APBN.

“Pemerintah melakukan utang adalah untuk membiayai defisit yang sudah ditetapkan bersama-sama oleh pemerintah dengan DPR, tidak lebih dari itu,” tutur anak buah Sri Mulyani itu menjelaskan.

Suminto menegaskan, tugas pemerintah selanjutnya adalah mengelola risiko kewajiban tersebut agar dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat luas.

“Dalam penerbitan utang tentu kami sebagai pengelola portofolio, yaitu berapa komposisinya, berapa tenornya, berapa utang untuk rupiah maupun asing dan seterusnya,” kata dia.

“Maka rumus supaya portofolio kita optimal adalah dengan, pertama secara biaya minimal. Kedua, secara risiko dapat terkendali. Ini adalah dua hal yang harus kita kelola dari sisi biaya dan risiko,” tegas Suminto.

VOI mencatat, total utang pemerintah sampai dengan akhir Desember 2022 adalah sebesar Rp7.733,99 triliun. Nilai tersebut setara dengan 39,57 persen dari produk domestik bruto (PDB). Adapun, ketentuan undang-undang keuangan negara menyebutkan bahwa batas maksimal utang yang diperbolehkan tidak boleh melebihi 60 persen PDB.

Sementara itu, merujuk pada Undang-Undang APBN 2023 diketahui jika kebutuhan pembiayaan utang untuk periode tahun ini sebesar Rp696,4 triliun.