<i>Full</i> Berkah! Ini Penyebab RI Kipas-Kipas Duit Setiap Kali Dunia Alami Krisis
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA – Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Kiki Verico menyebut bahwa Indonesia sebetulnya mendapat keuntungan tersendiri dari setiap krisis global yang terjadi.

Menurut dia, hal ini tidak lepas dari status RI sebagai salah satu negara eksportir komoditas alam dan juga dari aspek valuasi nilai tukar rupiah. Kiki menyebut Indonesia mendapat ekses positif dari sisi neraca transaksi berjalan atau current account.

“Dalam 30 tahun terakhir, setiap ada tekanan global (krisis) current account Indonesia pasti positif,” ujarnya secara daring pada Rabu, 25 Januari.

Kiki menjelaskan, pada era pandemi 2020 hingga saat ini nilai transaksi berjalan RI terus menunjukan pencapaian surplus.

“Ini karena harga komoditas naik, seperti batu bara dan CPO. Jadi semacam ada good luck-nya juga,” tutur dia.

Lompat jauh ke periode 1998 saat Asia dilanda krisis keuangan, Kiki mengungkapkan Indonesia sebenarnya menikmati pula surplus current account.

“Di saat itu ada undervalue rupiah yang membuat rupiah kita murah. Hal ini kemudian meningkatkan valuasi nilai ekspor dan di saat bersamaan impor sedang turun,” katanya.

Lalu, pada 2008 ketika terjadi krisis keuangan di Eropa dan Amerika, RI mendapat keuntungan dari peningkatan harga komoditas, utamanya pada batu bara.

“Ini menjadi berkah tersendiri karena sisi penerimaan naik sehingga beban pemerintah bisa berkurang dan pulih lebih cepat,” tegas dia.

Sebagai informasi, realisasi pendapatan negara pada 2021 tercatat sebesar Rp2.011,3 triliun atau lebih tinggi dari target APBN yang sebesar Rp1.743,6 triliun.

Adapun, pada 2022 pendapatan negara terealisasi sebesar Rp2.626,4 triliun, lebih besar 115 persen dari pagu APBN sesuai Perpres 98/2022 yang senilai Rp2.266,2 triliun.

Moncernya pundi-pundi negara membuat upaya penyehatan APBN lebih cepat dari rencana awal. Sebelumnya, pemerintah menetapkan defisit anggaran di bawah 3 persen PDB terjadi pada 2023. Akan tetapi dalam APBN 2022 defisit sudah bisa mencapai target tersebut dengan bertengger di level 2,38 persen PDB.