JAKARTA - Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, pemerintah perlu segera menurunkan inflasi, terutama pada bulan Desember dan Januari 2023.
Sebab, ketika pemerintah mampu menurunkan inflasi, maka Bank Indonesia diprediksi tidak akan terlalu agresif untuk menaikkan suku bunga acuan.
"Khususnya untuk mengantisipasi harga barang yang bergejolak. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan BI untuk menaikkan suku bunganya pada kuartal I-2023," kata Josua, Selasa, 20 Desember.
Menurut Josua, kondisi inflasi Indonesia pada saat ini cenderung mengalami normalisasi. Bahkan, ia memperkirakan inflasi pada akhir 2023 bisa berada di bawah empat persen.
"Karena itu, dari sisi inflasi, diperkirakan pada akhir 2023 mendatang akan berada pada kisaran 3,0 persen hingga 3,5 persen," ucapnya.
Meski demikian, Josua menyarankan pemerintah mewaspadai goncangan pada rupiah ketika resesi global benar-benar terjadi. Karena hal itu akan memicu kenaikan harga barang yang didatangkan dari luar negeri.
"Salah satu risiko yang perlu diperhatikan pemerintah saat ini terkait inflasi adalah potensi shock pada rupiah di saat sentimen risk-off menguat bila resesi terjadi, yang berakibat pada kenaikan harga barang impor," ujarnya.
Josua mengatakan, ketika pemerintah mampu menahan inflasi sehingga harga barang tidak terlalu tinggi, maka BI juga akan mempertahankan suku bunga acuan.
Namun, ketika kenaikan harga tidak terbendung, BI diprediksi akan menaikkan suku bunga acuan menjadi 6 persen pada 2023.
"Itu akan mengulang sejarah 2018, ketika suku bunga mencapai 6 persen pada akhir 2018, pelambatan ekonomi cenderung terjadi pada 2019," tuturnya.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyebut kondisi dilematis yang menjadi tantangan perekonomian ke depan.
Pertama, menurunkan inflasi dengan menaikkan tingkat suku bunga. Kedua, menurunkan suku bunga dalam menghadapi resesi agar roda perekonomian dapat terus bergerak.
"Tapi tahun depan itu dua hal itu terjadi sekaligus. Inflasi tinggi. resesi berat. Jadi menaikkan tingkat bunga makin resesi, tak menaikkan tingkat bunga inflasinya naik terus. Ini suatu dilema yang luar biasa," ujarnya.
Pemerintah sendiri meyakini perekonomian Indonesia tetap solid di tengah ketidakpastian global dan penurunan pertumbuhan ekonomi dunia.
Pada triwulan III-2022, perekonomian Indonesia mampu mencatatkan pertumbuhan 5,72 persen secara tahunan (yoy).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2023 mencapai 5,3 persen.
"Dengan pertimbangan berbagai risiko global dan domestik, kami optimis dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,2 persen tahun 2022 dan sebesar 5,3 persen di tahun 2023,” terang Airlangga.
BI Perlu Jaga Arus Modal Keluar
Sementara itu, Peneliti Makro Ekonomi dan Pasar Keuangan LPEM UI, Teuku Riefky mengatakan, perlunya bank sentral untuk menjaga agar arus modal keluar realtif bisa dikendalikan.
"BI perlu menjaga rate differential sekaligus memperhatikan laju inflasi domestik serta nilai tukar rupiah," katanya.
"Jadi kalau the Fed masih akan agresif BI pun tampaknya harus menjaga agresivitas pengetatan suku bunga untuk menjaga agar arus modal keluar bisa relatif terkendali dan stabilitas nilai tukar rupiah bisa terjaga," sambungnya.
BACA JUGA:
Kemudian untuk menjaga laju inflasi, Teuku Riefky menyarankan, sejumlah usaha ekstra atau extra effort yang harus terus dilakukan pemerintah.
"Selain dari kebijakan moneter konvensional, sejauh ini koordinasi TPIP-TPID dan penebalan jaring pengaman sosial relatif mampu mengendalikan inflasi dan menjaga daya beli masyarakat," pungkasnya.