'Kencangkan Sabuk Pengaman'! Pemerintah Akui Tak Punya Kontrol 100 Persen Atasi Guncangan dan Krisis
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani kembali menyampaikan peringatan terhadap potensi pemburukan situasi ekonomi pada 2023 mendatang. Menurut dia, terdapat sejumlah tantangan yang berpeluang menambah tekanan pascapandemi COVID-19 yang kini mulai bisa dikelola.

“Pandemi bukan guncangan yang terakhir. Kita sekarang dihadapkan pada disrupsi teknologi yang membuat boom dan bust dari kripto. Lalu ada perubahan iklim,” ujarnya dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia pada Selasa, 13 Desember.

Menkeu menambahkan, guncangan juga diyakini bakal berasal dari aspek demografi penduduk hingga geopolitik (perang).

“Ini semua bisa mempengaruhi terjadinya krisis pangan dan krisis energi. Jadi saya sampaikan bahwa sebagai pengelola keuangan negara, kita akan menghadapi guncangan-guncangan yang tidak bisa dikontrol 100 persen,” tuturnya.

Lebih lanjut, Menkeu mengungkapkan jika dalam setiap dinamika tersebut sangat mungkin menimbulkan efek berkepanjangan yang terjadi secara luas.

“Dalam menghadapi krisis maka perlu dipertegas bagaimana kita merespon tantangan dan ancaman pada masyarakat. Bagaimana juga kita menjaga Indonesia untuk mencapai tujuan masyarakat adil-makmur pada saat guncangan itu terjadi secara hebat,” tegasnya.

Bendahara negara meyakini bahwa krisis sangat mungkin mempengaruhi fundamental, struktural, dan praktek tata kelola.

“Oleh karena itu saya berharap dalam peringatan antikorupsi jangan hanya menjadi jargon tetapi juga jawaban yang efektif agar bisa mengelola Indonesia untuk terus maju,” kata dia.

VOI mencatat, proyeksi perekonomian pada 2023 mendatang tidak akan lebih baik dibandingkan dengan periode 2022. Hal ini merujuk pada sejumlah tantangan global. Pertama, laju inflasi yang masih akan tetap pada level tinggi.

Kedua, kenaikan suku bunga acuan bank sentral sebagai respon atas upaya pengendalian inflasi. Sikap otoritas moneter itu lantas berdampak pada peningkatan biaya dana (cost of fund) dan juga perlambatan ekonomi yang memicu stagflasi hingga resesi.

Data IMF menyebut menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi global tahun depan hanya sebesar 2,5 persen dari tahun ini yang sebesar 3,2 persen.