JAKARTA - Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi global pada 2023 mendatang akan lebih lambat dari 2022 dengan berbagai potensi tekanan yang muncul.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa beberapa hal yang perlu diwaspadai adalah tingginya level inflasi, agresifnya kenaikan suku bunga kebijakan moneter, dan ketidakpastian pasar keuangan yang berlanjut.
“Pertumbuhan ekonomi global pada 2023 diperkirakan akan menurun dari 2022, dengan risiko koreksi yang dapat lebih rendah dan resesi yang tinggi di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat (AS) dan Eropa,” ujarnya usai menggelar Rapat Dewan Gubernur pekan beberapa waktu lalu.
Menurut Perry, perlambatan ekonomi global dipengaruhi oleh berlanjutnya ketegangan geopolitik yang memicu fragmentasi ekonomi, perdagangan dan investasi, serta dampak pengetatan kebijakan moneter yang agresif.
“Sementara itu, tekanan inflasi dan inflasi inti global masih tinggi sejalan dengan terus berlanjutnya gangguan rantai pasokan dan keketatan pasar tenaga kerja terutama di AS dan Eropa, di tengah pelemahan permintaan global,” tutur dia.
BACA JUGA:
Guna merespons tekanan inflasi tinggi tersebut, sambung Perry, bank sentral di banyak negara terus memperkuat pengetatan kebijakan moneter yang agresif.
“Kenaikan Fed Funds Rate yang diperkirakan hingga awal 2023 dengan siklus yang lebih panjang (higher for longer) mendorong tetap kuatnya mata uang dolar AS sehingga memberikan tekanan pelemahan nilai tukar di berbagai negara,” tegasnya.
Kata Perry, tekanan pelemahan nilai tukar tersebut semakin meningkat sejalan dengan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
“Aliran keluar investasi portofolio asing menambah tekanan nilai tukar di negara berkembang, termasuk Indonesia,” tutup dia.