Bagikan:

JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan bahwa pemerintah menyatakan tidak akan terburu-buru merilis ketentuan yang menunjuk platform ecommerce sebagai pemotong atau pemungut pajak.

Kasubdit Peraturan PPN Perdagangan , Jasa dan Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP Bonarsius Sipayung mengatakan masih banyak aspek yang perlu dipertimbangkan sebelum memberlakukan ketetapan tersebut.

“Belum kita terapkan. Artinya, masih pertimbangkan juga arahan dari pimpinan, bagaimana cara kita nanti memungut pajak,” ujarnya dalam pernyataan tertulis pada Senin, 28 November.

Bonarsius juga menjelaskan, pertimbangan pertama adalah kondisi ekonomi yang masih dalam proses pemulihan dari pandemi COVID-19. Pertimbangan kedua merupakan kesiapan infrastruktur, dan yang terakhir terkait tarif dan administrasi yang mudah.

Selain itu, dia mengaku akan melakukan komunikasi dengan sejumlah pihak untuk menyampaikan keinginan pemerintah, yaitu membuat negara lebih maju dengan memformalkan UMKM.

“Isu terbesar UMKM dalam pembayaran pajak adalah minimnya kemampuan mereka dalam hal administrasi. Oleh sebab itu, DJP akan memikirkan proses administrasi yang mudah dan sederhana,” tuturnya.

Menurut Bonarsius, aspek lain yang menantang adalah lokasi tempat penjual yang tak menentu dalam menjual barang dagangannya melalui ecommerce juga menjadi tantangan dalam memungut pajak.

"Sebab bagaimana kita memajaki orang yang kita tidak pernah lihat ada usahanya, umpanya seperti itu," tegas dia.

Sebagai informasi, merujuk pada kajian Danny Darussalam Tax Centre (DDTC) terungkap jika bahwa sebanyak 49,3 persen pelaku UMKM tidak setuju jika marketplace menjadi pemotong dan pemungut pajak.

Disebutkan bahwa Pelaku UMKM online lebih nyaman apabila pajak yang terutang dapat dihitung dan dibayarkan sendiri kepada otoritas pajak. Selain itu, DDTC mendapati platform ecommerce sebagai pemungut pajak UMKM online dapat menurunkan partisipasi UMKM berjualan online sebanyak 26 persen.

“Hal itu disebabkan oleh adanya kecenderungan pelaku UMKM bermigrasi ke platform penjualan lainnya, seperti media sosial dan toko fisik. Ini juga dapat membuat UMKM kembali ke dalam ekosistem shadow economy atau ekonomi informal. Jika demikian, basis pajak UMKM justru akan menurun,” ungkap risalah tersebut.

DDTC FRA menilai, pemerintah mesti mempertimbangkan pelaksanaan penyerahan rekapitulasi data transaksi UMKM oleh marketplace. Dalam tahap ini DJP perlu secara terbuka dan masif mengumumkan dan mensosialisasikan rencana pelaksanaan rekapitulasi data kepada pelaku UMKM.

Selain itu, sehubungan dengan rencana pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP), DJP juga perlu meminta persetujuan (consent) kepada pelaku UMKM untuk merekapitulasi data tersebut dan menyerahkannya kepada DJP serta mitranya, dalam hal ini platform ecommerce.

Selanjutnya, DJP juga perlu melakukan evaluasi pelaksanaan hasil rekapitulasi data, termasuk merumuskan aturan teknis, sinkronisasi data, dan lain-lain. Di tahap ini pemerintah juga dapat memulai merumuskan aturan mengenai pemotongan perpajakan melalui marketplace dan juga memetakan kebutuhan infrastruktur teknologi yang dibutuhkan agar pelaksanaan potong pungut berjalan lancar.

Terakhir, pemerintah dapat memulai sosialisasi dan implementasi sistem pemotongan dan pemungutan pajak. Dalam perhitungan DDTC, tiga tahapan ini minimal membutuhkan waktu sekitar dua hingga tiga tahun.