Bagikan:

JAKARTA - Upaya Indonesia untuk menjadi tuan rumah, juru damai antara Rusia dan Ukraina dalam Presidensi G20 bisa jadi berujung tanpa ada kesepakatan bersama atas ketidakhadiran Presiden Rusia Vladimir Putin. Dengan begitu konflik geopolitik akan terus berlangsung dan memperdalam persoalan ekonomi dunia.

"Tanpa adanya komunike dalam leaders summit G20 maka yang harus dilakukan adalah Indonesia, waspada karena perang mungkin akan terus berlanjut, dengan Putin tidak hadir, itu meniadakan adanya kerja sama multilateral untuk menyelesaikan masalah perang dan krisis secara global," ujar Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira, Senin 14 November.

Dengan tidak adanya kepastian tersebut maka harga komoditas dunia masih akan tinggi, yaitu energi dan pangan. Karena itu, Bhima menyarankan jika kerja sama multilateral tidak bisa menemukan kata sepakat, maka pemerintah diminta untuk memperkuat kerja sama bilateral antar negara sebagai antisipasi.

"Misalnya, Indonesia punya kepentingan gandum dengan India dan Ukraina, ya berhadapan langsung dengan pemimpin negara itu, atau dengan yang berkepentingan," jelas Bhima.

Lalu, Bhima mengatakan, komitmen investasi yang sempat tercetus dalam pertemuan G20 juga harus dikejar realisasinya. Sehingga menjadi penahan atas tekanan eksternal.

Kemudian tiga pokok besar yang diusung dalam presidensi G20, dua di antaranya memiliki peluang besar untuk diperdalam yaitu, digitalisasi dan transisi energi.

"Jadi Indonesia harus menyiapkan kerangka teknisnya untuk mempercepat inklusivitas digital dan transisi energi. Kelihatan kedepan transisi energi salah satu motor pertumbuhan ekonomi ini yang harus bisa dimanfaatkan," tandas Bhima.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan kemitraan sektor publik dan swasta atau public-private partnership (PPP) yang didukung dengan pemanfaatan berbagai inovasi akan menjadi fondasi dalam memperkuat arsitektur ekonomi pascapandemi.

Airlangga mengatakan upaya tersebut juga diharapkan mampu menyediakan solusi bagi berbagai isu strategis mulai dari ketahanan pangan hingga transisi energi yang terjangkau dan adil.

"Pemerintah harus menunjukkan kepemimpinan dalam menanggapi tantangan di masa depan melalui kemitraan publik-swasta yang lebih kuat untuk menjadi aksi konkret dari kebijakan," kata Airlangga dalam acara Business20 (B20) Summit, di Bali.

Realisasi Skema PPP Tidak Mudah

Sementara itu, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam menilai bahwa skema PPP memang layak menjadi fokus. Namun sayangnya, realisasi skema tersebut tidak mudah.

"Secara konsep itu baik sekali. Itu sering jadi topik bahasan di forum-forum internasional, tetapi realisasi dari PPP itu tidak mudah," terangnya.

Menurut Piter, hambatan utama adalah pada upaya pengabungan dua entitas yang berbeda, yakni pemerintah dan swasta. "Kenapa? Karena tidak mudah juga menggabungkan dua entitas yang secara karakter berbeda," katanya.

Piter menjelaskan konsep perusahaan yang di bawah pemerintah (BUMN) tidak boleh merugi dalam operasinya. Ketika merugi, terdapat kemungkinan untuk masuk dalam kategori merugikan negara.

"Perlu dipahami juga terkait, kalau publik/pemerintah itu kan tidak boleh rugi. Kalau rugi bisa dikategorikan merugikan negara. Bisa masuk kategori korupsi. Ini hambatan dalam realisasi PPP," tegasnya.

Meski demikian, skema PPP bukan tidak mungkin diwujudkan. Menurut Piter, hal pertama yang harus dilakukan adalah menyusun dan memperjelas aturan main terkait skema tersebut.

"Kalau air dan minyak itu tidak sebenarnya, tetapi harus diberikan kejelasan posisi dari perusahaan yang akan menjadi partner. Ini kan harus diwujudkan dalam bentuk kelembagaan kan? Lembaga yang akan dibentuk itu nanti seperti apa?," tuturnya.