Bagikan:

JAKARTA - Setelah lolos dari pandemi COVID-19, industri dalam negeri harus menghadapi tantangan baru untuk bertahan.

Mulai dari konflik geopolitik Rusia-Ukraina yang berimbas pada kenaikan harga energi, kenaikan harga transportasi, ancaman inflasi, hingga suku bunga acuan yang meningkat.

Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment dari Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) serta imbas dari konflik geopolitik dirasakan betul oleh dunia industri dalam negeri.

"Pertama terkait kenaikan harga energi yang mengerek kenaikan harga transportasi. BBM naik, inflasi tinggi, suku bunga acuan meningkat. Artinya bunga kredit juga lebih tinggi, sehingga mengancam ekspansi, yang tadinya siap ekspansi menjadi tertunda," kata Ahmad, di Jakarta, Jumat, 23 September.

Apalagi, kata Ahmad, kenaikan harga transportasi dan juga sebagian bahan baku, makin memperberat ongkos produksi. Ahmad mengaku khawatir kondisi ini akan membuat pengusaha melakukan penyesuaian berupa pengurangan tenaga kerja.

"Jadi, kenaikan biaya produksi bisa menyebabkan tertundanya ekspansi, atau bahkan penyesuaian input produksi, dikhawatirkan mereka mengurangi tenaga kerja," kata Ahmad Heri.

Karena itu, menurut Ahmadi, pemerintah perlu membantu pelaku industri dalam negeri dengan cara memberikan stimulus, fasilitas maupun insentif.

Tujuannya agar industri tetap berjalan dan tetap bisa membuka lapangan kerja serta mendorong peningkatan investasi.

"Agar industri tetap berjalan, katakan diberikan fasilitasi dalam rangka industri sedang mengalami tekanan harus dibantu, katakan dalam biaya logistik, fasilitas ekspor, ekspor kan kapal mahal, diberikan diskon tarif listrik untuk jam tertentu. Apapun yang bisa berdampak langsung terhadap industri," ucapnya.

Sejauh ini, kata dia, pemerintah hanya memberikan bantuan pada masyarakat terdampak sebagai kompensasi atas kenaikan BBM, namun belum menyasar sektor industri dalam negeri.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa kemampuan industri menjadi unsur utama bagi ketahanan ekonomi sebuah negara di masa pandemi.

Industri akan mendorong penciptaan lapangan kerja, dan memerlukan sektor perdagangan dalam distribusi, serta mendorong peningkatan investasi.

Karena itu, G20 harus mendorong upaya peningkatan di sektor industri, perdagangan dan untuk lebih menarik investasi.

Menurut dia, keanggotaan Indonesia dalam sejumlah forum seperti G20, ASEAN maupun lainnya harus bisa menjadi peluamg untuk memperkuat kerja sama yang menguntungkan.

"Kerja sama untuk aliran barang dan jasa yang lebih lancar, perlu dilakukan pertemuan dalam forum seperti kemarin itu. Negosiasi untuk menurunkan tarif non tarif, dan kerja sama investasi perdagangan yang menguntungkan saya rasa banyak," kata dia.

Tak hanya itu, kata Ahmad, ada tantangan baru dimana saat ini sejumlah negara melakukan restriksi ekspor untuk menjaga stok mereka.

Dalam forum seperti G20 harus bisa dibicarakan lebih jauh tentang global supply chain, dan diyakinkan bahwa bisa menjalin kerja sama tanpa restriksi.

Krisis Global

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengungkapkan permasalahan ekonomi saat ini terjadi dalam tingkatan global, bukan di domestik.

"Yang jelas kita memang berhadapan dengan global. Sekarang itu tantangannya ada di global, bukan di domestik," ujarnya.

Menurut Piter, persoalan global berdampak pada ekonomi Indonesai seperti pandemi COVID-19. Gejolak geopolitik perang Rusia-Ukraina yang masih berlanjut menjadi pemicu atas disrupsi mata rantai pasokan global. Sehingga terjadi permasalahan krisis pangan dan energi yang kemudian memicu lonjakan inflasi di banyak negara.

"Jadi ini karena memang permasalahan ada di global yang kemudian berdampak ke masing-masing negara, maka solusinya memang harus di global," tegasnya.

Piter mengaku, negara-negara di dunia patut bergandengan tangan untuk mencari solusi atas masalah tersebut.

Masyarakat global diminta untuk menyelesaikan akar masalah yakni ketegangan goepolitik yang melibatkan Rusia dan Ukraina.

"Solusinya adalah bagaimana negara-negara itu melakukan kerja sama, kesepakatan secara multilateral untuk mengatasi berbagai masalah yang terjadi. Utamanya adalah sumber masalah diselesaikan. Sumber masalahnya adalah ketegangan geopolitik. Kemudian hambatan-hambatan pasokan harus diselesaikan. Kalau tidak, ya ini akan berkelanjutan," ujarnya.

Senada dengan Piter, Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menyebut kondisi perekonomian Indonesia tidak akan terlepas dari kondisi perekonomian global.

Sehingga yang terjadi di tingkat global akan berdampak pada ekonomi Indonesia, baik langsung atau tidak langsung.

"Ini sudah kita rasakan selama ini, pandemi 2,5 tahun, sekarang ada masalah geopolitik yang disertai dengan permasalahan supply chain dan inflasi, serta kebijakan-kebijakan makro ekonomi yang ketat," terangnya.

Yose menilai kerja sama ekonomi mutlak diperlukan diperlukan untuk membuat kondisi perekonomian global ini menjadi lebih baik dan lebih kondusif terhadap pemulihan ekonomi di seluruh negara.

"Satu-satunya cara adalah kerja sama ekonomi. Kalau tidak ada kerja sama, dan masing-masing jalan sendiri, malah masing-masing akan merugikan orang atau negara lain," pungkasnya.