JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan, dalam waktu 10 tahun ke depan Indonesia membutuhkan dana sebesar 50 miliar dolar AS atau setara Rp780 triliun. Jumlah sebesar itu diperlukan untuk membangun pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) dengan total kapasitas mencapai 22 GW.
Meski mahal, dengan membangun pembangkit listrik berbasis EBT, adalah salah satu cara untuk mengakselerasi dalam proses transisi energi dan mengejar target net zero emission pada tahun 2060.
"Karena pembangkit EBT sudah tentu merupakan pembangkit tanpa emisi karbon," ujar Arifin dalam keterangan tertulis saat menghadiri B20 Summit Dialogue on Advancing Innovative, Inclusive and Colaborative Growth di Nusa Dua Bali, yang dikutip Senin 14 November.
Dengan biaya yang besar tersebut, Arifin memaparkan bahwa pemerintah harus memberikan kemudahan kepada investor untuk menanamkan modalnya di sektor pembangkit EBT. Terutama dengan cara membuat kebijakan dan regulasi yang memudahkan serta mampu membuat investor tertarik untuk berinvestasi.
BACA JUGA:
Sebut saja, Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 Tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang baru disahkan September lalu. Kemudian ada pula Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang diinisiasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang saat ini masih bergulir proses pembahasannya.
"Jadi ini merupakan kesempatan yang sangat bagus kepada komunitas bisnis untuk datang dan berkolaborasi dalam membangun energi yang lebih hijau," lanjutnya Arifin.
Asal tahu saja, Pemerintah melalui Kementerian ESDM juga terus mendorong percepatan pembangunan pembangkit yang ramah lingkungan yang berbasis EBT untuk meningkatkan pasokan kelistrikan nasional.