Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah Indonesia mengalkulasi angka kebutuhan investasi sebesar 1.177 miliar dolar AS untuk membangun pembangkit listrik bersumber dari energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 587 GW hingga 2060.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan pemerintah mendukung semua perubahan yang terjadi untuk mewujudkan target EBT dan netralitas karbon di Indonesia melalui dukungan fiskal, regulasi, dan sebagainya.

"Kami menawarkan imbalan hasil yang baik dari investasi yang ditanamkan untuk meyakinkan para investor," ujarnya dalam acara Mandiri Investment Forum 2022, dikutip dari Antara, Rabu 9 Februari.

Rincian nilai investasi untuk proyek listrik bersih itu adalah pembangunan pembangkit listrik sebesar 1.042 miliar dolar AS dan transmisi sebesar 135 miliar dolar AS.

Saat ini, pemerintah Indonesia sedang mempersiapkan peraturan presiden terkait tarif energi terbarukan untuk dapat menarik minat para investor agar mau menanamkan modal ke Indonesia.

Menteri Arifin menyampaikan bahwa pihaknya baru saja meluncurkan rencana pengadaan barang dan jasa pemerintah untuk meningkatkan proporsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional.

Selain itu, regulasi yang juga baru diterbitkan adalah peraturan Menteri ESDM terkait pembangkit listrik tenaga surya di atap rumah supaya bisa mendorong minat pasar untuk terlibat dalam pemanfaatan energi baru terbarukan.

"Kami akan menggunakan tenaga surya untuk menjadi tulang punggung energi baru terbarukan," kata Arifin.

Dalam peta jalan energi baru terbarukan Indonesia, dari total kapasitas setrum bersih sebesar 587 gigawatt (GW) pada 2060, dari tenaga surya menduduki posisi pertama dengan kapasitas sebesar 361 GW.

Diikuti oleh battery energy storage systems (BESS) sebesar 140 GW dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebesar 83 GW.

Direktur Pelaksana dan Kepala Global dari ESG Aniket Shah mengatakan Indonesia mempunyai potensi untuk memanfaatkan teknologi yang ada untuk melakukan upaya dekarbonisasi jika pembiayaan itu tersedia.

"Ini adalah investasi yang multijuta dolar AS, investor maupun lembaga multinasional harus menyediakan pembiayaan tersebut. Rencana ini harus diimplementasikan melalui kebijakan pemerintah maupun permodalan dari sisi domestik maupun internasional," terang Aniket yang juga menjabat sebagai Penelitian Keberlanjutan di Jefferies Group LLC.

Lebih lanjut, Aniket mengungkapkan bahwa selama 15 tahun terakhir telah terjadi peningkatan signifikan investasi global yang diarahkan kepada proyek-proyek environmental, social, and corporate governance (ESG) dari sebelumnya nol dan sekarang telah menjadi 100 triliun dolar AS.

Menurutnya, konsep penanaman modal ini sejajar dengan prinsip PBB untuk investasi yang bertanggung jawab.

"Investor internasional mulai memikirkan tentang konsep lingkungan hidup dan investasi netralitas karbon. Ini merupakan dua konsep yang saling berkaitan erat di mana selama 10-15 tahun terakhir telah mengambil alih industri keuangan secara global dan secara besar-besaran," ujar Aniket.