Bagikan:

JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan penjelasan terkait dengan alasan pemerintah menetapkan kebijakan pembatasan utang maksimal 60 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Analis Kebijakan Fiskal Kemenkeu Dewi Puspita mengatakan strategi tersebut berkaitan erat dengan kondisi keuangan negara yang harus benar-benar dijaga keseimbangan serta kesehatannya.

“Kalau lebih dari 60 persen nanti kemampuan membayar kita bagaimana jadinya? Bisa-bisa makin melemah,” ujarnya pada Rabu, 26 Oktober.

Dewi memastikan bahwa pemerintah memikirkan betul setiap langkah yang ditempuh dalam pelaksanaan fiskal agar dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia.

“Ini kemudian yang menjadi acuan kita untuk dipegang. Ketika mau membuat kebijakan pasti melihat dari berapa alokasi belanja, berapa pendapatan yang dimiliki dan akan ditutupi (defisit anggaran) pakai apa. Jadi benar-benar dijaga tidak boleh lebih dari 60 persen PDB,” tuturnya.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Direktur Politeknik STAN Evy Mulyani mengungkapkan acuan debt to GDP ratio berasal dari kesepakatan bersama yang terjadi di Eropa.

“Jadi kita tidak sendiri. Ketentuan ini malahan sudah ada sejak era 80-90an. Kita lalu mengadopsi skema tersebut dengan melalui proses adaptasi,” ucapnya.

Satu hal yang menjadi sorotan Evy adalah bagaimana kebijakan ini dapat terus berlangsung sesuai dengan aturan yang berlaku.

“Hal yang paling krusial malahan mengimplementasikan secara konsisten,” tegasnya.

Walaupun berada di lingkup pemerintahan, Evy sebagai kalangan civitas akademika membuka diri terhadap upaya pencarian solusi terbaik dalam mengelola keuangan negara.

“Kalau dari sisi akademisi, ini merupakan sesuatu yang cukup fair jika kita melihat banyak jurnal yang kembali mengkritisi (kebijakan) 3 persen (defisit APBN) atau 60 persen (rasio utang terhadap PDB), apakah itu memang tepat atau mitos,” kata dia.

Untuk diketahui, kebijakan utang pemerintah mengacu pada Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 12 Ayat 3 yang menjelaskan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60 persen dari produk domestik bruto.

Adapun, dalam laporan terakhir Kemenkeu terungkap bahwa utang pemerintah hingga akhir September 2022 adalah sebesar Rp7.420,4 triliun 39,3 persen atau setara dari PDB.