Bagikan:

JAKARTA - Krisis ekonomi telah berulang kali terjadi, dan menjadi siklus yang menakutkan bagi perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Bayang-bayang itu pun kini kembali menghantui.

Perekonomian global dihadapkan pada ketidakpastian dan kemungkinan terjadinya resesi akibat dari persoalan geopolitik, meningkatnya inflasi, hingga krisis sumber daya energi.

Industri keuangan terutama perbankan menjadi salah satu sektor yang mesti mendapatkan perhatian khusus, mengingat perannya sebagai tulang punggung dan akselerator perekonomian Indonesia. Pemerintah pun membentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan Protokol Manajemen Krisis (PMK) sebagai upaya untuk mengantisipasi dinamika yang ada saat ini dan masa mendatang.

Ke depan, peran dari masing-masing pemangku kebijakan terkait, termasuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), akan menentukan arah pengembangan dan penguatan sektor keuangan. LPS pun terus menjalankan fungsi dalam memberikan penjaminan dana masyarakat di perbankan.

Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, bahwa LPS telah melaksanakan amanatnya untuk menjaga simpanan nasabah serta menjadi bukti bahwa simpanan nasabah aman dijamin oleh LPS.

LPS sebagai lembaga yang berperan besar dalam membantu stabilitas sistem keuangan akan terus bertransformasi mengembangkan fungsi LPS ke arah risk minimizer dalam sistem keuangan setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Menurut Purbaya, beberapa penguatan mandat tersebut antara lain, yaitu LPS dapat melakukan persiapan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan bersama dengan OJK untuk penanganan permasalahan solvabilitas bank.

Kemudian, LPS juga dapat melakukan pengambilan keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan penyelamatan bank selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai bank gagal dengan mempertimbangkan antara lain kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan atau efektivitas penanganan permasalahan bank serta tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah (least cost test).

"Jadi LPS sudah lebih leluasa untuk memastikan bahwa tindakannya akan dapat menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, kalau ekonomi sedang goncang jangan sampai ada bank yang tutup karena bisa menimbulkan efek beruntun ke bank-bank yang lain," ujar Purbaya dalam webinar 'Kiprah LPS dalam Stabilisasi dan Penguatan Sektor Keuangan' yang digelar Infobank bersama LPS di Jakarta, Kamis, 6 Oktober.

Di tengah ketidakpastian global dan ekonomi yang masih tinggi, LPS pun terus menyoroti berbagai tantangan ke depan bagi sektor perbankan untuk dapat memperkuat stabilitas sistem keuangan. Tantangan pertama yang perlu dicermati adalah tantangan-tantangan yang ada pada tatanan global.

Meskipun sudah mulai mereda, seperti pandemi dan disrupsi rantai pasok, namun kenaikan inflasi, kenaikan harga energi, dan perlambatan ekonomi global seperti Amerika Serikat dan Tiongkok serta kenaikan suku bunga secara global masih menjadi penyebab tingginya ketidakpastian.

"Berbagai lembaga internasional tetapi memperkirakan ekonomi global tumbuh 2,9 persen sampai dengan 3,2 persen pada tahun 2022. Di 2023 juga ekonomi global diperkirakan hanya gak jauh beda dengan yang sekarang di kisaran 2,8 persen sampai dengan 3 persen perlambatan ekonomi yang dikombinasikan oleh kenaikan harga dapat memicu risiko terjadinya stagflasi di beberapa negara," kata Purbaya.

Tantangan kedua, literasi keuangan yang masih rendah. Berdasarkan survei OJK tahun 2019 indeks inklusi keuangan nasional berada pada level 76,19 persen, sementara indeks literasi keuangan berada pada level 38,03 persen.

"7 dari 10 masyarakat Indonesia telah memiliki akses kepada produk dan jasa keuangan namun hanya 4 dari 10 orang yang memahami apa itu produk dan jasa keuangan artinya terdapat gap yang signifikan antara inklusi dengan literasi keuangan nasional. Pemahaman masyarakat yang terbatas atas produk keuangan menyebabkan timbulnya berbagai risiko seperti penipuan yang berdampak buruk kepada masyarakat," ungkapnya.

Lebih lanjut, tantangan ketiga yaitu digitalisasi. Perkembangan digital meningkat begitu pesat sehingga memunculkan segmen-segmen di dalam ekonomi dan keuangan dan dapat menimbulkan berbagai kejahatan siber bila literasi keuangan digital tidak dioptimalkan.

Di sisi lain, sektor perbankan juga diminta untuk terus memperkuat sistem informasi agar infrastruktur perbankan mumpuni untuk mencegah terjadinya kejahatan siber.

"Kita mengetahui bahwa kian hari risiko cyber security akan meningkat, apalagi masyarakat tidak memiliki literasi tinggi secara digital kasus-kasus seperti scamming, phising, ransomware dan kejahatan-kejahatan keuangan lain melalui cyber," ucap Purbaya.

Terakhir, pendalaman pasar keuangan di Indonesia yang masih rendah dibandingkan dengan dengan negara-negara tetangga. Purbaya merinci, kapitalisasi pasar modal Indonesia di tahun 2020 masih di 46,9 persen terhadap PDB.

Sementara, Filipina sudah berada pada level Thailand 108,7 persen dan Malaysia 129,5 persen. Kemudian, rasio finansial sistem deposit Indonesia per 2021 masih rendah dalam level 41,2 persen pada PDB, sementara itu yang lebih tinggi Filipina sebesar 77,7 persen, Malaysia 122,6 persen, dan Thailand 135,6 persen.

"Pendalaman pasar keuangan ini perlu terus ditingkatkan supaya peran pasar keuangan sebagai sumber pembiayaan pembangunan semakin tinggi dan tidak tergantung terhadap dana asing dalam pembangunan nasional,” tegasnya.

Sejak berdirinya LPS tahun 2005, Indonesia telah mengalami berbagai macam krisis, seperti Subprime Mortgage & Lehman Brothers pada 2007-2008, Global Financial Crisis (GFC) pada 2009-2010, Krisis Fiskal Eropa pada 2011-2012 hingga pandemi COVID-19 pada 2019 sampai sekarang.

Kendati demikian, sektor keuangan di tanah air tetap terjaga dan solid, karena di tengah rangkaian krisis itu, kredit dan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan terus tumbuh. Hal ini sekaligus mencerminkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor keuangan yang tetap terjaga.

"Keberadaan LPS memberikan keyakinan dan kepercayaan masyarakat kepada bank dan sektor keuangan," tambah Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah di diskusi yang sama.

Piter mengungkapkan, kemampuan untuk mampu bertahan di tengah gelombang krisis, termasuk krisis pandemi ini, ditunjukan dengan indikator kinerja bank umum konvensional yang meningkat per Juni 2022, yakni CAR 24,72 persen, BOPO 78,46 persen, LDR 81,63 persen, NIM 4,78 persen, ROA 2,38 persen, NPL 2,86 persen.

Termasuk empat bank terbesar Indonesia pada semester I 2022 yang mampu mencatatkan laba bersih yang luar biasa besar bahkan di tengah krisis, di antaranya BRI Rp24,79 triliun, Mandiri Rp20,21 triliun, BCA Rp18,05 triliun, BNI Rp8,8 triliun.

"Sekali lagi saya ingin menegaskan hal ini tidak lepas dari kiprah LPS, peran besar LPS menjaga keyakinan masyarakat terhadap sektor keuangan kita," pungkasnya.

Di tengah tantangan yang terjadi sekarang ini seperti kenaikan inflasi dan suku bunga, memunculkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi, salah satunya ialah potensi perlambatan ekonomi nasional. Untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi, Bank Rakyat Indonesia (BRI) pun telah menyiapkan empat strategi guna menghadapi hal tersebut.

Pertama, BRI akan melakukan selective growth yang akan berfokus pada pinjaman UMKM di sektor tertentu khususnya kredit mikro melalui strategi ‘business follow stimulus’ dan juga mengoptimalkan kredit Ultra Mikro (UMi) sebagai mesin pertumbuhan baru.

"Dalam situasi seperti ini stimulus pemerintah masih diperlukan dan kemudian kita business to follow stimulus. Hal ini gak gampang dilakukan, karena stimulus baru efektif bisa sampai kalau empat hal bisa dipenuhi, satu adanya duit, kedua data yang benar, ketiga ada sistem yang reliabel, dan keempat ada yang mengkomunikasikan secara clear program-program stimulus itu.

Dari empat syarat itu, BRI menyediakan tiga hal yaitu data, sistem yang reliabel, dan komunikator melalui mantri-mantri BRI," jelas Direktur Utama BRI, Sunarso.

Kemudian, strategi kedua ialah maintenance quality, yang di dalamnya sangat selektif dalam menentukan kelayakan nasabah untuk direstrukturisasi, lalu menerapkan soft landing strategi yang menyediakan bantalan dan cadangan yang cukup.

"Ketiga, fokus di high yield loan. BRI akan fokus untuk bertumbuh pada pinjaman-pinjaman yang memiliki high yield, yaitu segmen mikro dan consumer loan," tegas Sunarso.

Lalu skenario yang terakhir adalah efficient liability CASA (current account saving account) Growth. BRI terus meningkatkan CASA melalui peningkatan wholesale transaction, penetrasi digital saving BRI, dan hyperlocal ecosystem pada segmen mikro.

"Jadi nanti kalau ada kinerja BRI yang mungkin labanya terbesar, sebenarnya itu adalah keberhasilan transformasi yang tujuannya adalah memurahkan biaya dana, memurahkan biaya operasional dan memurahkan biaya kredit," kata Sunarso.