Bagikan:

JAKARTA – Situasi global yang belum pulih dan bahkan mengalami pelemahan ditengarai menjadi salah satu faktor dominan yang akan mempengaruhi perekonomian Indonesia ke depan. Analisis tersebut disampaikan oleh Deputi Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto.

Menurut dia, tantangan ekonomi sebenarnya sudah mulai terasa dari beberapa bulan yang lalu, terutama pasca kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan perubahan nilai tukar rupiah.

“Economy outlook 2023 di Indonesia hanya terjadi perlambatan, tidak sampai kepada resesi ekonomi,” ujarnya dalam keterangan tertulis awal pekan ini.

Eko menjelaskan, Indonesia menjadi salah satu negara yang akan kuat menahan gejolak ekonomi di masa depan. Kata dia, negara-negara lain mungkin mengalami resesi, namun di Indonesia, hal itu tidak akan sampai terjadi karena adanya daya tahan dan penopang ekonomi dari berbagai aspek yang sudah dan akan dilakukan.

“Dugaan saya tidak akan sampai terjadi resesi di tahun depan, tapi memang ada penurunan ekonomi. Ekonomi masih bergerak, tapi tidak seperti tahun ini,” tuturnya.

Untuk diketahui, beberapa mitra dagangan penting RI, seperti China, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa, diyakini bakal mengalami perlambatan pertumbuhan pada 2023. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap ekspor Indonesia yang cukup memberi daya dukung terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB).

Proyeksi tersebut tercermin dari rilis Purchasing Managers‘ Index (PMI) manufaktur dunia yang mengalami pelemahan seiring dengan ancaman krisis energi Eropa yang semakin meningkat serta hawkish stance The Fed sebagai respon pengendalian inflasi.

Adapun, pertumbuhan ekonomi Indonesia berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) adalah sebesar 5,01 persen year on year (yoy) di kuartal I 2022.

Sementara untuk kuartal II 2022 sebesar 5,44 persen. Pemerintah sendiri optimistis level pertumbuhan di sepanjang tahun ini bisa bertengger di atas 5 persen dengan ditopang oleh faktor konsumsi dalam negeri.