Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah mendorong lebih banyak investasi masuk ke dalam negeri dengan melakukan berbagai promosi.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan, promosi investasi memang sudah selayaknya dilakukan pemerintah. Namun, harus dibarengi dengan perbaikan iklim invsetasi di dalam negeri.

Sekadar informasi, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto melakukan pendekatan dengan India, Jepang, dan Selandia Baru, di sela rangkaian Pertemuan Menteri IPEF (Indo-Pacific Economic Framework) di Los Angeles, AS. Pertemuan tersebut dilakukan terpisah dan membahas berbagai agenda, diantaranya untuk memacu kerja sama ekonomi kedua negara.

Saat pertemuan, Ketum Golkar itu juga mempromosikan ekonomi Indonesia yang berpeluang tumbuh 4,5-5,3 persen tahun 2022 ini, tren kenaikan konsumsi, laju arus investasi yang terus naik masuk Indonesia, hingga surplus neraca dagang yang masih berlanjut.

"Upaya-upaya untuk menarik investasi memang perlu diupayakan baik promosi investasi ataupun memperbaiki iklim investasinya di dalam negeri. Jadi yang dilakukan adalah upaya jemput bola untuk menarik investor. Tapi jangan sampai dilupakan bagaimana perbaikan di sisi dalam negeri," katanya di Jakarta, Senin, 12 September.

Heri juga mewanti-wanti pemerintah jangan sampai investor yang masuk ke Indonesia mendapati iklim investasi yang kurang bersahabat.

"Kalau mereka kita undang masuk Indonesia, tapi ternyata begitu calon investor melihat iklim investasi kurang bersahabat kan sayang. Nanti dia enggak jadi. Disangkanya kita php (pemberi harapan palsu)," ujarnya.

Kata Heri, setiap investor pasti akan melakukan kajian sebelum memutuskan berinvestasi.

Mereka akan membandingkan antara negara satu dengan negara lainnya, lalu memilih negara yang lebih mendukung investasi mereka.

Karena itu, sambung Heri, kondisi tersebut harus dimitigasi dan diwaspadai oleh pemerintah. Tujuannya agar citra investasi Indonesia tidak jeblok di mata investor.

"Ada upaya untuk memperbaiki iklim secara menyeluruh di berbagai aspek, baik di sisi perizinan kemudian juga fasilitasi yang lain. Karena mereka, calon investor, membandingkan dengan negara lain. Jangan sampai ketika investor membandingkan, kita yang dapat jelek-jeleknya doang," tandasnya.

Menurut Heri, masuknya investasi juga akan membuat Indonesia mengalami surplus perdagangan.

Hal itu dimungkinkan ketika investasi yang masuk bergerak di bidang industri hilir.

Sehingga barang ekspor Indonesia tidak berupa barang mentah, tetapi barang jadi atau setengah jadi yang mempunyai nilai jual lebih tinggi.

"Surplus perdagangan kita kan selama ini ditopang oleh komoditas. Nah, kalau misalnya ekspor kita ingin beralih ke barang-barang yang bernilai tambah tinggi, yang lebih hilir. Itu relevan dengan upaya mengundang investor," pungkasnya.

Peran Swasta

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan, usaha pemerintah Indonesia untuk menarik investor asing masuk, harus diteruskan oleh pihak swasta dan juga pembenahan lingkungan investasi.

"Bagi negara sifatnya demokrasi, perekonomian dengan negara lain bukan ditentukan oleh pemerintah, pemerintah hanya memberikan fasilitasi supaya swastanya mau bekerjasama dengan negara partnernya," kata Yose.

Kemudian, kata Yose, pihak swasta yang melihat apakah akan menguntungkan jika berinvestasi di Indonesia. Karena itu, pemerintah perlu mengambil sejumlah langkah strategis agar iklim investasi lebih menarik.

"Dari pemerintah tentunya memperbaiki lingkungan investasi dan lingkungan bisnis, karena tentunya swastanya akan lebih melihat memang ada berbagai opportunities, kesempatan untuk bisnis mereka di indonesia," tuturnya.

Untuk IPEF, Yose menilai, masih belum terlihat manfaat konkret dan substansial bagi Indonesia. Namun yang sudah pasti adalah Indonesia masuk ke dalam lingkaran Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik.

"Manfaat yang jelas sih, kita masuk dalam circle, kita tidak dilupakan," ucap Yose.

Namun mengenai manfaat lainnya, Yose menilai masih panjang, karena dalam sebuah bentuk kerja sama perdagangan itu perlu dirumuskan dulu nilai dan standar untuk diadopsi negara-negara anggotanya.

"Kalau di dalam trade agreement, itu ada insentif untuk mengadopsi standar yang sama, mengadopsi berbagai nilai-nilai yang sama, insentifnya adalah market akses yang lebih besar, pasar yang lebih besar yang bisa masuk ke negara tersebut. Tetapi permasalahannya dengan IPEF ini, Amerika Serikat dia tidak bisa menawarkan market akses," ucapnya.