JAKARTA - Harga bahan bakar minyak (BBM) sudah resmi naik. Langkah ini diambil pemerintah guna mengurangi beban berat keuangan negara akibat subsidi energi yang terus membengkak.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mewanti-wanti pemerintah segera siapkan strategi kendalikan inflasi atas kenaikan BBM.
Kenaikan harga BBM diumumkan langsung oleh Presiden Jokowi, pada 3 September lalu.
Tiga jenis BBM yang mengalami kenaikan yaitu Pertalite dari Rp7.650 per liter menjadi Rp1.000 per liter. Solar subsidi dari Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter dan Pertamax dari Rp12.500 menjadi Rp14.500 per liter.
Berdasarkan penghitungan pemerintah kenaikan harga BBM ini akan menambah inflasi sebesar 1,8 persen.
Kendati begitu, pemerintah memastikan terus melakukan tindakan baik di tingkat pusat maupun daerah untuk mengendalikan inflasi.
Terkait kenaikan harga BBM ini, Ketua Umum Kadin Indonesia, Arsjad Rasjid meminta pemerintah segera mengambil langkah strategis dan mitigasi terkait inflasi, belajar dari kenaikan BBM yang lalu-lalu.
Apalagi berdasarkan data BPS, dampak kenaikan harga BBM pada 2005 mendorong inflasi mencapai 17 persen.
Sementara itu, saat kenaikan harga BBM pada 2013 besaran inflasi 8,38 persen dan pada 2014 sebesar 8,36 persen.
"Saat ini subsidi kita menghabiskan sekitar 25 persen APBN 2022. Ini angka yang sangat besar. Persoalannya, sekitar 70 persen subsidi BBM ini dinikmati oleh kelompok yang mampu. Hal ini memperlihatkan subsidi BBM tidak tepat sasaran. Padahal tujuan utama dari alokasi subsidi adalah untuk menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat pada golongan pra-sejahtera," katanya dalam keterangan resmi, dikutip Senin, 12 September.
Kata Arsjad, kondisi perekonomian global, termasuk Indonesia sedang dalam masa pemulihan dan trennya terus membaik serta mengarah pada pertumbuhan.
Namun, masih banyak tantangan yang harus dihadapi, seperti risiko resesi global, inflasi energi dan juga pangan dikarenakan daripada Perang Rusia-Ukraina.
"Kondisi ini yang membuat kita juga harus memiliki strategi, termasuk dalam persoalan fiskal. Dalam kondisi pemulihan dan ancaman resesi global, ruang fiskal kita butuh keleluasaan untuk bergerak lincah menjaga keseimbangan keuangan negara dan dorongan agar ekonomi tetap tumbuh," ucapnya.
Jika ruang fiskal sempit akibat keuangan negara habis untuk subsidi BBM, lanjut Arsjad, sektor prioritas lainnya seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, pangan dan lainnya akan terkena imbas.
Perkuat Bansos dan Percepat Transisi Energi
Arsjad menambahkan, masyarakat miskin dan rentan memerlukan bantuan yang lebih tepat.
Langkah pemerintah untuk mengalokasi 25 persen dana APBN ini dengan bansos atau BLT sudah tepat agar Indonesia bisa keluar dari jeratan subsidi bahan bakar minyak yang buruk untuk lingkungan.
Selain itu, lanjut Arsjad, dana subsidi BBM yang sebesar itu akan berdampak besar bagi masa depan jika dialokasikan untuk membangun 200.000 SD, 40.000 puskesmas dan 3.000 rumah sakit di daerah 3T.
"Saat ini, untuk mencegah dampak sosial bagi kelompok masyarakat rentan, pemerintah menggelontorkan BLT untuk keluarga pra-sejahtera, kelompok rentan seperti nelayan dan petani dan masyarakat miskin serta BSU bagi karyawan untuk menjaga daya beli serta mobilitas mereka. Adapun pemerintah sendiri menambah alokasi bansos sebesar Rp24,17 triliun tahun ini. Itu sangat tepat," jelas Arsjad.
Dari sudut dunia usaha, Arsjad mengakui kenaikan BBM ini memang pastinya akan menimbulkan kenaikan harga di beberapa sektor terutama transportasi dan logistik.
Akibat biaya logistik yang naik, barang dan jasa juga akan terkerek naik terutama di UMKM yang ketergantungan akan BBM tinggi.
Namun, sambung Arsjad, tidak ada cara lain untuk menanggung konsekuensi ini bersama.
"Secara persentase kenaikan BBM bersubsidi pertalite sebesar 30 persen dan solar 32 persen. Dengan kontribusi BBM terhadap inflasi sebesar 4 persen pada Juli 2022, maka penyesuaian kenaikan harga produk sekitar 12-13 persen dari harga semula. Kadin Indonesia menghitung industri berskala besar dan sedang tidak akan terlalu terdampak karena menggunakan BBM nonsubsidi," jelasnya.
Namun, lanjut Arsjad, skala UMKM tentu akan langsung menyesuaikan, sehingga perlu insentif seperti subsidi bunga KUR, insentif pajak hingga permodalan.
Pasca-pengumuman kenaikan BBM, kelompok buruh dan serikat pekerja langsung bereaksi dengan menggelar unjuk rasa.
Menanggapi hal ini, Arsjad menilai peraturan mengenai kenaikan gaji sudah tertuang dalam PP No 36 tahun 2021.
Ia merasa penentuan upah minimum untuk tahun 2023 dinilai akan lebih sulit, selain karena besaran kenaikan terbilang kecil juga harus memperhitungkan dampak inflasi akibat kenaikan BBM.
"Produktivitas perusahaan terancam mengalami penurunan, sementara tingkat upah mendesak untuk dinaikkan. Oleh sebab itu, bantuan sosial berupa BLT, BPNT, PKH dan insentif pada UMKM agar dapat memperkecil efek pada penurunan daya beli masyarakat. Pemerintah harus menaikkan upah minimum sejalan dengan inflasi yang melonjak," terangnya
Terakhir, Arsjad menegaskan, untuk rencana jangka panjang. Ketergantungan pada BBM subsidi harus dilepas secara perlahan karena dunia global sudah mulai bergerak menuju energi baru dan terbarukan yang lebih baik untuk keberlangsungan lingkungan dan dunia usaha.
BACA JUGA:
Arsjad menilai, Indonesia yang memiliki kekayaan alam yang bisa dijadikan sumber energi baru terbarukan seperti geothermal, angin, surya, hidro dan beberapa sumber mineral seperti nikel sudah seharusnya berada di garda terdepan untuk proses transisi energi terbarukan.
Jangan sampai APBN kita terus tergerus untuk subsidi energi fosil yang sudah ditinggalkan negara-negara maju.
"APBN untuk sektor energi harus kita gunakan melihat ke masa depan dengan membangun ekosistem ekonomi hijau seperti industri kendaraan listrik serta ekonomi digital dengan membangun infrastruktur digital. Tentunya transisi ini harus didukung dengan kebijakan fiskal lainnya seperti insentif dan pengurangan pajak pada pelaku usaha di bidang energi terbarukan agar transisi energi bisa dipercepat," tegasnya.