Bagikan:

JAKARTA – Pemerintah melalui Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menegaskan bahwa pengelolaan APBN akan kembali menerapkan disiplin fiskal ke level di bawah 3 persen dari PDB pada 2023. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi.

Atas dasar mandatori tersebut maka pemerintah akan menjalankan sejumlah langkah strategis, diantaranya terkait proyeksi pembiayaan.

Menurut Menkeu, ketidakpastian yang terjadi saat ini cenderung meningkatkan harga komoditas dan juga potensi capital outflow yang tinggi.

“Ini harus diantisipasi dengan mengurangi defisit karena kalau defisit kita besar maka market akan melihat ada kebutuhan financing yang tinggi disitu. Akibatnya, kita bisa terkena pukulan cost of fund (biaya dana) yang tinggi,” ujarnya melalui saluran digital pada Rabu, 7 September.

Untuk itu, Menkeu menjelaskan jika Indonesia harus menghindari risiko kerentanan utang yang bisa mengganggu perekonomian ke depan.

“Jadi kelihatan sekarang di berbagai negara yang menghadapi risiko manajemen utang tinggi karena dianggap fiskalnya tidak sustainable, mereka harus membayar biaya yang luar biasa besar,” tegas dia.

Sebagai informasi, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa batasan defisit APBN harus kembali ke level maksimal 3 persen setelah sebelumnya diperlebar guna mengantisipasi dampak pandemi.

VOI mencatat, jumlah utang pemerintah hingga Juli 2022 adalah sebesar Rp7.163,1 triliun atau setara 37,9 persen produk domestik bruto (PDB). Level tersebut masih aman jika merujuk pada aturan konstitusi UU Nomor 17 Tahun 2003 yang menetapkan batasan utang tidak boleh lebih dari 60 persen PDB.

Adapun, realisasi penarikan utang tahun ini per Juli 2022 baru sebesar Rp196,7 triliun atau 23,4 persen dari target Rp840,2 triliun di Perpres 98/2022. Rendahnya angka tersebut tidak lepas dari kinerja moncer APBN yang banyak mendapat keuntungan dari windfall revenue.

Sementera itu dalam RUU APBN 2022 pemerintah merencanakan penarikan utang sebesar Rp598,2 triliun atau setara dengan 2,85 PDB.