Bagikan:

JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan penerimaan negara dari perpajakan pada tahun ini akan mengalami penurunan yang sangat siginifikan sebesar 15 persen dari target perubahan APBN yaitu Rp1.404,5 triliun.

"Pendapatan negara dari pajak turun sangat signifikan. Kami perkirakan awalnya hanya turun 10 persen, namun sekarang berpotensi turun 15 persen," tuturnya, dalam acara 7th OECD Forum on Green Finance and Investment di Jakarta, Jumat, 9 Oktober.

Sri Mulyani menjelaskan, pemerintah memiliki kombinasi permasalahan antara penurunan pendapatan dan peningkatan belanja akibat tekanan pandemi COVID-19. Hal inilah yang menyebabkan mengapa defisit pasti melebihi 3 persen.

Lebih lanjut, Sri Mulyani mengatakan, karena di Indonesia defisit diatur oleh undang-undang, maka pemerintah harus benar-benar mengajukan undang-undang darurat yang memperbolehkan mengalami defisit lebih dari 3 persen. Karena itu, Perpres Nomor 72 Tahun 2020 disahkan.

Meskipun penerimaan perpajakan diperkirakan turun 15 persen, namun besaran defisit APBN untuk tahun ini tetap sesuai kesepakatan yakni 6,34 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

"Seberapa besar defisitnya? Tahun ini karena perusahaan akan meningkat secara signifikan menjadi 6,3 persen meningkat dari orisinalitas 1,7 persen," tuturnya.

Menurutnya, selama ini Indonesia dikenal sebagai negara yang mampu mengelola dan menjaga tingkat defisit dengan baik karena dalam 20 tahun terakhir defisit APBN selalu berada di bawah 3 persen.

Tak hanya itu, dia memastikan total rasio utang terhadap PDB juga tidak akan melebihi 60 persen sesuai dengan Perpres Nomor 72 Tahun 2020 meski penerimaan perpajakan akan turun semakin dalam.

"Dalam 20 tahun terakhir kita telah mengadopsi kebijakan fiskal yang sangat hati-hati di mana defisit tidak boleh melebihi 3 persen dan rasio total utang terhadap PDB tidak diperbolehkan untuk melebihi 60 persen," tuturnya.