Bagikan:

JAKARTA - Rizal Ramli lagi-lagi 'menyemprot' Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan kritik pedas. Hal ini terkait dengan kinerja ekonomi Indonesia sepanjang 2020 yang dinilai jauh dari kata berhasil.

Menurut Rizal, kinerja ekonomi yang jauh dari harapan ini dipicu oleh kebijakan fiskal yang tidak tepat. Selain faktor eksternal, keterpurukan ekonomi juga tidak lepas dari faktor internal di jajaran kabinet Indonesia Maju.

Menko Ekuin era pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu menilai kebijakan fiskal di bawah komando Sri Mulyani semrawut. Kebijakan pertama yang menjadi sorotan Rizal Ramli adalah soal utang pemerintah.

Kebijakan Bunga Tinggi

Kata Rizal, Sri Mulyani memberikan keuntungan kepada kreditor dengan membuat bunga utang yang cukup tinggi.

"Misalnya, di bank ada yang mau pinjam kredit (bunga) pinjamannya 15 persen. Para pengusaha datang ajukan kredit, mereka negosiasi jangan 15 persen tapi 12-13 persen," ujar Rizal dikutip dari keterangan tertulisnya, Minggu 27 Desember.

"Tapi ada satu negara (Indonesia) yang datang mau bayar bunga 17-18 persen, 2 persen lebih mahal dari pasar selama 10 tahun," sambungnya.

Menurut Rizal, kebijakan utang dengan bunga yang tinggi seperti itu, tidak dilakukan oleh negara tetangga Indonesia seperti Singapura hingga Jepang dan China.

"Jangan main-main. Perbedaan, selisih bunga 2 persen saja selama 10 tahun. Misalnya kita pinjam 10 dolar AS, 2 persennya itu tambahan bunganya itu sepertiganya. Siapa yang bayar? Rakyat kita," tuturnya.

Bandingkan Kebijakan

Selain itu, Rizal juga melihat kebijakan tax holiday bagi para pengusaha besar justru membuat cekak penerimaan negara. Sebagai buktinya, kata Rizal, tax ratio atau penerimaan pajak di awal tahun 2020 ini realisasinya tidak mencapai lebih dari 10 persen.

Rizal Ramli mengklaim capaian ini beda dengan saat dia menjabat sebagai Menko Ekuin 20 tahun lalu, yang berhasil merealisasikan hingga 11,5 persen dari produk domestik bruto (PDB).

"Hari ini sebelum krisis (COVID-19) 10 persen. Dengan krisis ini penerimaan pajak bakal lebih anjlok lagi. Bahkan bisa 60-65 persen dari target. Itu yang menjelaskan kita akan kesulitan cash flow. Penerimaan pajak kita anjlok, besar sekali," jelasnya.

Lebih lanjut, dia menilai, Sri Mulyani mulai melakukan pinjaman bilateral karena pinjam meminjam makin susah di tengah pandemi COVID-19 saat ini.

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: Dok. Setkab)

"Dia (Sri Mulyani) hanya berani dengan yang (pajak) kecil-kecil , dan kedua dia pinjam-pinjam makin susah. Makanya mulai pinjam melalui bilateral," tuturnya.

Mantan Menko Kemaritiman ini juga memprediksi ekonomi Indonesia pada tahun 2021 masih akan sulit, bahkan lebih buruk dari krisis moneter tahun 1998.

"Makin lama ekonomi makin terjerumus. Jokowi go down bersama dengan kinerja Sri Mulyani dalam kinerja keuangan," tuturnya.

Beberapa Kali Rizal Ramli Pernah Kritik Srimul

Rizal Ramli melayangkan kritikan pedas terhadap Sri Mulyani bukan kali ini saja. Jauh sebelumnya, Sri Mulyani bahkan diberikan julukan sebagai 'ratu utang' oleh Rizal. Kritikan ini sering disampaikan melalui akun sosial media Twitter miliknya.

Awal mula julukan ratu utang yakni pada April 2019, Rizal Ramli menyampaikan kritiknya lewat Twitter-nya, @RamliRizal. Dalam cuitannya, Rizal menyebut Menkeu Ratu Utang, dipuja-puja kreditur karena berikan bunga tertinggi se-ASEAN.

Kritikan Rizal Ramli tersebut bukan tanpa alasan, mengingat nominal utang pemerintah pusat di era kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) melonjak cukup signifikan dibandingkan pendahulunya.

Cuitan ini juga sekaligus menanggapi informasi adanya penambahan jumlah utang pemerintah sebesar Rp347 triliun di April 2019. Angka penambahan itu terhitung selama satu tahun atau dari April 2018.

"Utang pemerintah setahun naik Rp347 triliun. Nyaris Rp1 triliun per hari! Kok prestasi tertinggi ngutang? Wong Menkeu "Ratu Utang" dipuja-puja kreditor karena berikan bunga tertinggi di ASEAN," tulis Rizal, yang dikutip VOI, Senin, 30 November.

Tak hanya itu, sebelum Indonesia benar-benar resmi masuk ke dalam zona resesi ekonomi, Rizal Ramli juga mengkritik pernyataan Sri Mulyani yang menyebut bahwa belum alami resesi. Menurut dia, ungkapan Sri Mulyani adalah kebohongan publik.

Bahkan, cara perhitungan atau definisi yang digunakan oleh Sri Mulyani untuk melihat sudah atau belum resesinya suatu negara tidak tepat.

"Saya lihat kebiasaan berbohong menular ternyata karena Menkeu menyatakan kita belum resesi karena baru negatif kuartal II dia bandingkan kuartal II tahun lalu," kata dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat, 21 Agustus.

Perhitungan itu bukan cara lazim oleh para ekonom dunia untuk menetapkan resesi atau tidak. Sebab yang lazim itu yakmi membandingkan antara kuartal per kuartal.

Ilustrasi Uang. (Irfan Meidianto/VOI)

"Misal kuartal I dibanding kuartal IV 2019 itu negatif, di kuartal II dibandingkan kuartal I juga negatif. Jadi udah negatif berturut-turut resesi. Ini kok bisa menkeu kayak orang bloon gitu bilang belum resesi," kata dia.

"Standar internasional kalau berturut-turut dua kuartal. Nah dia bikin definisi sendiri kuartal 2020 dengan kuartal II 2019 itulah angka minus 5,32 dua kuartal," sambungnya.

Sri Mulyani mengaku heran lantaran dirinya selalu dicap sebagai ratu utang. Padahal, utang yang diterbitkan sebagai konsekuensi atas APBN yang masih defisit.

Rumusan APBN yang masih defisit pun dari tahun ke tahun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Defisitnya APBN terjadi karena penerimaan yang lebih rendah dibandingkan belanja negara.

Sri Mulyani mengatakan, perihal utang sudah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 72/2020 tentang Perubahan atas Perpres No 54/2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020.

Sri Mulyani menambahkan, dalam Perpres Nomor 72 terkait anggaran APBN 2020 memiliki estimasi defisit dengan pembiayaan dari SBN (surat berharga negara), pinjaman, bilateral, dan multilateral.

"Ada orang-orang hari ini yang suka bicara masalah utang, sampaikan saja bahwa di Perpres 72/2020 itu waktu anggaran APBN 2020 dengan estimasi defisit sekian itu pembiayaannya adalah dari SBN, dari pinjaman, ada yang bilateral, ada multilateral," jelas Menkeu Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KITA yang disiarkan secara virtual, Senin 23 November.

Untuk itu, Sri Mulyani meminta agar tidak ada pihak-pihak yang menanggapi miring seolah-olah pemerintah belum mempunyai rencana untuk menjalankan Perpres 72/2020.