Kenaikan BBM Bersubsidi Tak Terelakkan, Harga Pertalite Idealnya Naik di Angka Rp10.000 per Liter
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi semakin tak terelakkan, sebagai dampak dari kenaikan harga minyak mentah dunia.

Penyesuaian harga ini akan berdampak pada daya beli masyarakat karena akan ada kenaikan harga barang dan jasa.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, rencana penyesuaian harga BBM subsidi sudah tepat dan tidak terelakkan.

Melalui kenaikan ini, kata Mamit, dapat mengurangi beban subsidi energi yang saat ini sangat tinggi mencapai Rp502 triliun.

Jika BBM subsidi benar-benar dinaikkan, kata Mamit, idealnya ada di angka Rp10.000 per liter untuk BBM jenis Pertalite, dan Solar bersubsidi di angka Rp8.500 per liter.

"Kenaikan ini cukup rasional dan tidak terlalu membebani bagi masyarakat. Inflasi saya kira tidak akan terlalu tinggi karena kenaikan ya. Mudah-mudahan masih di bawah 1 persen penambahan beban inflasi akibat kenaikan dari BBM subsidi ini," katanya dalam keterangan resmi dikutip Jumat, 26 Agustus.

Mamit mengatakan, sudah cukup Indonesia memberikan subsidi kepada komoditas yang justru hanya membakar uang di jalan.

Menurut dia, seharusnya subsidi bisa dialihkan secara langsung kepada masyarakat miskin dan sektor lain yang membutuhkan.  Seperti sektor pendidikan, kesehatan dan sebagainya.

Meski begitu, Mamit tak menampik kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut pasti akan berdampak terhadap daya beli masyarakat.

Karena itu, jika pemerintah terpaksa harus menaikkan harga BBM bersubsidi maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan yakni: 

1. Beri Stimulus

Kata Mamit, kenaikan harga BBM akan berdampak pada kenaikan harga barang serta harga jasa yang harus dibayarkan oleh masyarkat.

Karena itu, pemerintah harus memberikan stimulus untuk menjaga daya beli masyarakat yang terdampak.

"Tinggal pemerintah harus memberikan stimulus tambahan bagi masyarakat terdampak. Misalnya dengan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) atau kebijakan lain bagi masyarakat rentan. Apalagi di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi COVID-19," kata Mamit.

Mamit mengatakan, kenaikan harga BBM ini bisa memberikan dampak sosial di masyarakat yang berakibat bisa terganggunya iklim investasi di Indonesia.

"Aksi penolakan saya kira akan banyak dilakukan oleh elemen masyarakat. Tinggal bagaimana pemerintah bisa mengendalikan dari dampak sosial tersebut. Apakah bisa segera di amankan atau akan berkelanjutan," jelasnya.

Selain itu, kata Mamit, tuntutan kenaikan upah pasti akan terjadi seiring meningkatnya beban ekonomi yang harus ditanggung.

"Jadi semua kita kembalikan kepada pemerintah apakah siap dengan kondisi tersebut. Kenaikan ini pastinya akan memberikan ruang fiskal bagi pemerintah dalam mengatur keuangan APBN kita," ujarnya.

2. Batasi Penggunaan BBM Bersubsidi

Mamit sepakat perlu penyesuaian harga BBM untuk mengurangi beban keuangan negara.

Namun, menurut dia, hal ini tidak cukup. Kata dia, pemerintah juga jarus mengatur penggunaan BBM bersubsidi dan memastikan dapat dinikmati masyarakat yang berhak.

"Solusi lain saya kira yang ditunggu-tunggu adalah revisi Perpres 191/2014. Ini akan menjadi kunci jika pemerintah tidak melakukan kenaikan harga BBM subsidi. Melalui revisi pepres, diharapkan ada ketegasan dari pemerintah mengenai kriteria perseorangan maupun kendaraan yang berhak menerima manfaat," ujarnya.

Misalnya, kata Mamit, BBM jenis Pertalite hanya untuk kendaraan roda dua dan angkutan umum pelat kuning atau kendaraan UMKM, pertanian,nelayan dan bidang lain yang mendapatkan rekomendasi dari aparat terkait.

"Solar hanya untuk kendaraan angkutan umum pelat kuning roda maksimal 6, tidak untuk kendaraan pertambangan dan perkembunan. Jumlah yang bisa diisi juga hanya 100 liter per hari. Ini akan sangat membantu pemerintah dalam menjaga kouta dan subsidi menjadi tepat sasaran," katanya.

Selain itu, kata Mamit, Pertamina sebagai operator juga harus mengimbangi ketersediaan BBM di SPBU.

Tujuannya agar tidak terjadi kelangkaan atau antrean yang cukup panjang.