Bagikan:

JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) mendapati terjadi penurunan harga berbagai komoditas unggulan yang selama ini menopang neraca perdagangan Indonesia.

Deputi Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto mengatakan, indikasi tersebut bisa dilihat dari banderol minyak sawit (CPO) yang terjun bebas hampir minus 30 persen secara month to month (mtm) jadi 1.056 dolar per metrik ton di Juli 2020.

Hal yang sama juga terjadi pada komoditas nikel yang melandai minus 16 persen mtm menjadi 21.500 dolar permetrik ton.

“Hanya batu bara yang masih menunjukan kenaikan 7,5 persen dari bulan lalu menjadi 306,4 dolar per metrik ton di Juli 2022,” tutur dia ketika menggelar konferensi pers pada Senin, 15 Agustus.

Menurut Setianto, kondisi serupa dialami pula oleh minyak mentah yang amblas minus 10 persen mtm jadi 105 dolar per berel dan gas alam turun minus 5 persen menjadi 7,3 dolar per mmbtu.

“Ini yang barangkali perlu kita waspadai terkait dengan perubahan-perubahan harga. Penurunan harga komoditas unggulan ekspor utama kita seperti CPO harus menjadi perhatian kita dan bisa menjadi tanda berakhirnya efek windfall (durian runtuh),” tegasnya.

Sinyal tekanan ini terkonfirmasi lewat data BPS yang menyebut bahwa nilai ekspor Juli 2022 sebesar 25,5 miliar dolar AS atau lebih rendah dari Juni 2022 yang sebesar 26,1 miliar dolar AS.

Hasil tersebut turut membuat surplus perdagangan mengecil jadi 4,3 miliar dolar AS pada bulan lalu dibanding Juni yang surplus 5,1 miliar dolar AS.

Dalam catatan VOI, efek positif windfall di paruh pertama 2022 juga sukses membuat APBN mengalami surplus anggaran sebesar Rp73,6 triliun.

Bahkan, hingga Juli, instrumen keuangan negara tersebut masih melanjutkan tren menggembirakan dengan surplus anggaran sekitar Rp106 triliun.

Seiring dengan menguatnya tekanan terhadap berbagai komoditas unggulan RI, maka diperkirakan laju perekonomian ke depan bakal semakin menantang.