Bagikan:

JAKARTA – Pemerintah melalui Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengungkapkan bahwa rasio perpajakan atau tax ratio pada 2023 akan mengalami penurunan dibandingkan dengan periode 2022.

Dalam pemaparannya kepada Komisi XI DPR, Menkeu menyebut bahwa tax ratio tahun ini adalah sebesar 8,6 persen. Sementara proyeksi tahun depan diyakini bertengger di level 8,2 persen.

Tax ratio kita mengalami penurunan karena kondisi ekonomi yang ada dan sangat ditentukan oleh beberapa program yang membuat baseline-nya tidak comparable, seperti PPS (Program Pengungkapan Sukarela) atau tax amnesty dan juga dari sisi faktor harga komoditas,” ujarnya dikutip Selasa, 6 September.

Menkeu menjelaskan bahwa faktor harga komoditas cukup dominan dalam dua tahun terakhir seiring dengan peningkatan harga secara global.

“Kita ingat 2019 harga komoditas itu rendah, lalu ditimpa pandemi sehingga membuat harga melonjak tinggi selama dua tahun. Ini cukup mempengaruhi dari sisi tax ratio kita,” tuturnya.

Menkeu menambahkan, situasi ini kemudian membuat pemerintah mendapatkan windfall revenue dari melesatnya banderol tersebut, dikarenakan Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor bahan baku penting, seperti batu bara dan minyak sawit (crude palm oil/CPO).

Dari data yang dibagikan oleh bendahara negara, terungkap bahwa efek windfall komoditas pada 2021 ke sektor perpajakan senilai Rp117,8 triliun.

Kemudian untuk periode 2022 diproyeksi mencapai puncak dengan Rp279,8 triliun. Adapun dalam RAPBN 2023 disebutkan hanya sebesar Rp211 triliun.

“Penerimaan pajak ini kami upayakan stabil. Memang, di semua negara pajak itu mengikuti siklus ekonomi. Namun, dengan langkah reformasi yang kini dilakukan (Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan), basis perpajakan diharapkan bisa terus meluas sehingga tidak hanya bergantung pada momentum tertentu,” tegas Menkeu Sri Mulyani.