JAKARTA - Indonesia terus gencar menarik masuk investasi dari berbagai negara termasuk Jepang. Hubungan Indonesia dengan Jepang dalam hal investasi selama ini tidak pernah mengalami permasalahan realisasi mandek. Bahkan, 70 persen dari komitmen investasi berhasil diwujudkan.
Seperti diketahui, kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Jepang yang didahului oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto ke Jepang membuahkan komitmen investasi yang besar dari Mitsubishi Motors Corporation senilai Rp10 triliun mulai 2022 hingga 2025.
Selain itu, ada pula komitmen dari Toyota Motor Corporation (TMC) dalam lima tahun ke depan (2022-2026) untuk menambah investasi sebesar Rp27,1 triliun.
Pakar Ekonomi dari Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi mengatakan realisasi dari komitmen investasi Jepang tersebut bergantung pada kesigapan pemerintah dalam kinerja birokrasi. Meski begitu, dia mengatakan, rekam jejak Jepang cukup baik dalam hal investasi di Indonesia.
"Jepang itu secara rerata kalau kita bicara komitmen investasi dari 10 komitmen investasi, dia itu realisasi 70 persennya. Jadi 7 dari 10. Artinya selama ini, hubungan kita dan Jepang dalam konteks investasi tidak mengalami permasalahan realisasi yang mandek," tuturnya, di Jakarta, Jumat, 29 Juli.
Menurut Faisal, masalah realisasi justru terjadi pada investasi dari China. Faisal mengungkapkan realisasi investasi China hanya sekitar 30 persen. Indonesia perlu berupaya lebih untuk mewujudkan komitmen investasi dari China tersebut.
"Yang jadi masalah justru dengan China. China itu kalau kita ambil flashback ke beberapa tahun ke belakang, itu dari 10 mungkin cuma 3 yang terealisasi. PR-nya bukan dengan Jepang. PR-nya dengan China bagaimana kemudian bisa menaikkan persentase realisasi investasinya,” jelasnya.
Karena itu, Menurut Faisal, hal yang patut dilakukan Indonesia saat ini adalah memperbesar persentase realisasi investasi Jepang.
"Jepang sebagai partner yang tradisional tentunya juga perlu untuk digaet komitmennya agar realisasinya lebih tinggi lagi," ucapnya.
Pekerjaan Rumah
Sementara itu, Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengaku masih sering mendengar keluhan dari investor tentang kesulitan untuk berinvestasi di Indonesia.
"Mereka ada keluhan, regulasi masih berbelit, pemerintah memberikan insentif pajak, masih tidak tahu caranya, prosedurnya mengklaim, itu belum clear, tidak jelas," kata Esther.
BACA JUGA:
Kata Esther, beberapa indikator dari Ease Doing Business yang masih dianggap merah di Indonesia, misalnya, prosedur untuk memulai bisnis masih dianggap lama dan berbelit, jadi lebih 100 hari, trading cross border belum ada kemajuan.
Lebih lanjut, Esther mengatakan, regulasi yang berbelit, insentif yang tidak jelas, tentunya membuat investor enggan masuk ke Indonesia. Terlebih disituasi krisis dan ada ancaman resesi. Padahal Indonesia punya potensi besar untuk bisnis dan investasi.
"Indonesia ada potensi besar, kita lihat kasat mata, pasar besar, SDA melimpah, tenaga kerja murah, itu tidak dipunyai oleh Singapura, China punya tetapi tidak semua SDA dia punya," tuturnya.
Berdasarkan data BKPM, realisasi investasi di Indonesia hingga semester I 2022 sebesar Rp584,6 triliun dari target Presiden Jokowi sebesar Rp1.200 triliun. Investasi asing atau Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar 53,1 persen dari total realisasi investasi sepanjang semester I 2022. Nilainya adalah Rp310,4 triliun. Sementara Penanaman Modal Dalam Negeri (PMA) berperan 46,9 persen dari total realisasi investasi. Nominalnya ada di Rp274,2 triliun.
Dalam lawatan Presiden Jokowi dan rombongan ke China, Jepang dan Korea Selatan, Daftar "oleh-oleh" atau komitmen investasi yang dibawa Jokowi dari China, Jepang, dan Korsel yang totalnya mencapai Rp175 triliun.