JAKARTA - Seluruh mata rantai ekosistem pertembakauan menyatakan secara tegas menolak sekaligus kecewa terhadap Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) RI dan Kemenkes terkait proses dan materi Uji Publik Revisi PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (PP 109/2012).
Pada Rabu, 27 Juli 2022, tidak seluruh representasi mata rantai ekosistem pertembakauan diundang oleh Kemenko PMK untuk menghadiri Uji Publik Perubahan PP 109/2012. Pada kesempatan tersebut tiba-tiba, Wakil Menteri Kesehatan memaparkan sejumlah poin yang akan dimuat dalam revisi PP 109/2012.
Budidoyo, Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau (AMTI) menyayangkan, perlakukan yang sama tidak diterima oleh pemangku kepentingan ekosistem pertembakauan yang diundang dadakan padahal tidak semua bertempat tinggal di Jakarta.
Pemangku kepentingan ekosistem tembakau tidak mendapatkan draft aturan perubahan ataupun informasi poin-poin materi apa saja yang akan direvisi sebelumnya. Lain halnya dengan kelompok- kelompok lain yang mendukung revisi PP 109/2012 bisa menjabarkan pasal dan masukan dengan fasih,” kata Budiyono, dalam Konferensi Pers Sikap Ekosistem Pertembakauan Terhadap Uji Publik Revisi PP 109/2012, Kamis, 28 Juli.
Melihat perkembangan tersebut, ekosistem pertembakauan sangat kecewa. Terlebih, fakta data resmi pemerintah memperlihatkan bahwa prelavalensi perokok anak yang menjadi justifikasi revisi sudah turun.
"Sejak awal kami secara tegas menolak dilakukannya revisi PP 109/2012 sebab memang tidak ada justifikasi untuk merevisi PP 109 karena argumentasi bahwa prevalensi perokok anak masih tinggi, tidak benar. Data resmi BPS menunjukkan bahwa persentase anak berusia 10-18 tahun yang merokok mencapai 9,65 persen pada 2018. Angkanya kemudian menurun menjadi 3,87 persen pada setahun setelahnya. Pada 2020, persentase anak berusia 10-18 tahun yang merokok kembali merosot menjadi 3,81 persen," papar Budi.
Budidoyo pun menegaskan bahwa pengajuan dan usulan revisi PP 109/2012 cacat hukum. Berlanjut dengan uji publik yang tidak sesuai dengan konstitusi dan teridentifikasi intervensi kelompok-kelompok anti tembakau yang sudah terlebih dahulu menerima draft revisi. Uji publik yang dilakukan tidak mengedepankan asas keterbukaan, keadilan dan independensi.
"Secara proses saja sudah tidak sesuai peraturan dan perundang-undangan tapi kelompok pengusung ngotot. Kami tidak diinformasikan bagaimana dan seperti apa detail draft revisi PP 109/2012. Boro- boro soal substansi. Dalam uji publik, semua jenis penyakit dibebankan, disebabkan oleh tembakau. Data yang digunakan pun berbeda-beda, tebang pilih. Proses ini tidak netral. Tidak adil," tegas Budidoyo.
Soeseno, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) pun turut menyampaikan kekecewaannya kepada pemerintah yang mengabaikan nasib akar rumput. Soeseno menegaskan seluruh petani sejak awal menolak adanya revisi PP 109/2012 karena akan berimbas pada mata pencahariaan 2,5 juta petani tembakau.
Petani sebagai kelompok marjinal yang paling sulit mendapat akses informasi terkait revisi regulasi ini, dipaksa untuk menyetujui beleid perubahan yang jelas-jelas berisi total pelarangan dan menambah beban terhadap sector tembakau.
"Revisi PP 109/2012 berniat membunuh 2,5 juta petani tembakau dan 1,5 juta petani cengkeh yang hidupnya bergantung pada ekosistem pertembakauan. Petani berhak mendapat perlindungan, diberi kesempatan untuk hidup layak dan sejahtera. Bukan dimatikan mata pencahariannya. Poin-poin yang disampaikan tidak valid, melainkan hoakas," tutur Soeseno.
"Uji publik yang dilakukan itu tidak tepat, istilahnya uji publik yang dilakukan hanya mencari legitimasi publik. Kami tidak mengerti cara berpikir Kemenko PMK yang sedari awal sudah berniat menipu. Kami petani tembakau menolak secara tegas revisi dan uji publik revisi PP 109/2012, kami menolak karena forum uji public itu penuh dengan tipuan dan hoaks," imbuh Soeseno.
Dengan tidak memberikan ruang kepada para petani tembakau untuk mengakses seluas-luasnya dan memahami sepenuhnya rencana revisi PP 109/2012, maka menunjukkan secara nyata bahwa pemerintah tidak menjunjung asas partisipatif dan akomodatif.
BACA JUGA:
"Kemenko PMK mengabaikan petani. Kementrian yang harusnya netral memihak pada tekanan dan intervensi asing yang ingin meniadakan tembakau nusantara. Kemenko PMK berpihak pada desakan berbagai kelompok- kelompok anti tembakau yang sarat kepentingan asing yang bertujuan menghancurkan keberlangsungan sektor tembakau Indonesia," papar Soeseno.
Untuk diketahui bahwa ada empat poin utama Revisi PP 109/2012 di antaranya berisi 90 persen larangan promosi, pembatasan produksi, pengaturan aktivitas tata niaga, hingga aktivitas konsumen, sementara mengabaikan hak masyarakat di dalam ekosistem pertembakauan itu sendiri.
Desakan kelompok-kelompok anti-tembakau tentunya bertentangan dengan usaha positif yang hendak dicapai oleh Pemerintah Indonesia melalui Rencana Pemulihan Ekonomi Nasional pasca pandemi COVID-19.
"Sepanjang pandemi berlangsung, kami petani cengkeh berupaya bangkit, memulihkan kemandirian dan daya beli. Sementara desakan dan tekanan kelompok-kelompok ini mengambil kesempatan dan keuntungan dengan sembunyi-sembunyi mengusulkan proses perubahan PP 109/2012 secara inkonstitusional. Pun, upaya pengajuan revisi PP 109/2012 bukan kali pertama mereka lakukan. Kami di hulu, para petani ini yang akan menjadi korban paling hebat dari usulan revisi regulasi ini,” tambah I Ketut Budhyman Mudhara, Sekjen Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI).
Arogansi Kementerian Terkait
Ketidakterbukaan dan tiadanya keterlibatan ekosistem pertembakauan dalam proses pembuatan draft revisi dan uji publik PP 109/2012 menggambarkan arogansi kementerian terkait. Secara prosedural dan substansi, upaya revisi regulasi tersebut tidak transparan, dan tidak berimbang.
"Stigma yang dibangun terhadap tembakau begitu kejam, tidak rasional. Mulai dari isu kesehatan, lingkungan hingga masalah negara semua dibebankan pada tembakau. Proses revisi PP 109/2012 telah melanggar keterbukaan informasi publik. Kami ekosistem pertembakauan yang terkena imbasnya," ujar Hananto Wibisono, Sekjen AMTI.
Kelompok-kelompok anti tembakau, sebut Hananto, selalu mendorong terwujudnya kebijakan yang eksesif, dan mendorong regulasi yang melarang semua aktivitas di sektor pertembakauan. Sepanjang bergulirnya wacana revisi regulasi ini, lanjutnya, ekosistem pertembakauan tidak pernah diberi ruang untuk menyampaikan realitas.
"Ekosistem pertembakauan telah patuh dengan seluruh pedoman yang ada di PP 109/2012. Tembakau dan produk tembakau adalah barang legal dan aktivitas legal. Kami mohon kepada pemerintah untuk melindungi ekosistem pertembakauan yang telah memberi sumbangsih bagi negeri," tambah Hananto.