Bagikan:

JAKARTA - Mengawal proses perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan, Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menilai polemik yang terjadi saat ini tak terlepas dari substansi regulasi yang tidak sepenuhnya mengakomodir hak-hak masyarakat untuk memperoleh layanan kesehatan yang berkualitas, adil, dan tanpa diskriminasi.

Sebagai salah satu pemangku kepentingan di sektor pertembakauan yang turut diregulasi dalam RUU Omnibus Law Kesehatan, AMTI melihat bahwa rancangan undang-undang tersebut rentan mengancam keberlangsungan ekosistem pertembakauan. Khususnya terkait Pengaturan Zat Adiktif, di Bagian Kedua Puluh Lima.

"Sejak awal elemen ekosistem pertembakauan sebagai bagian dari masyarakat tidak diakomodirnya suaranya untuk memberikan masukan terkait RUU Kesehatan tersebut. RUU Kesehatan ini dibuat dengan sangat eksesif dan diskriminatif terhadap elemen hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan,” ujar Sekjen AMTI, Hananto Wibisono dalam gelaran Diskusi Media Mengawal Rancangan Regulasi yang Eksesif dan Diskriminatif Terhadap Ekosistem Pertembakauan, Rabu 12 April.

Secara substansi pasal 154 mengenai Pengaturan Zat Adiktif, menurut Hananto, memposisikan tembakau sejajar dalam satu kelompok dengan narkotika dan psikotropika. Padahal, sejatinya, tembakau sebagai komoditas strategis nasional, adalah produk legal yang memberikan kontribusi serta sumbangsih signifikan terhadap penerimaan negara.

"Tembakau, produknya, aktivitas pekerjanya, semuanya adalah legal. Tembakau telah berkontribusi nyata terhadap pembangunan negeri ini tapi dalam RUU Kesehatan justru diperlakukan seperti narkoba. Ini adalah ketidakadilan dan diskriminasi. Harapan kami, wakil rakyat, DPR RI, dapat membantu mengawal RUU Kesehatan dengan sebenar-benarnya dan seadil-adlinya," tegas Hananto.

Lanjutnya, tembakau sejak lama telah menjadi andalan masyarakat sebagai penopang hidup. Ada 6 juta tenaga kerja, mulai dari sektor perkebunan, manufaktur hingga industri kreatif yang bergantung pada ekosistem pertembakauan.

"Lagi-lagi dalam proses perumusan regulasi, pemangku kepentingan pertembakauan tidak pernah dilibatkan. Tentu saja situasi ini menyakiti jutaan jiwa yang menggantungkan penghidupannya dalam ekosistem pertembakauan," kata Hananto.

Dari sudut pandang hukum, Ali Rido, Dosen Ilmu Hukum Universitas Trisakti menilai bahwa pasal 154 mengenai Pengaturan Zat Aditif dalam RUU Omnibus Law Kesehatan seharusnya fokus mengatur tembakau dalam ranahnya sendiri.

"Pengaturan harusnya dibedakan karena kandungan nikotin dalam tembakau tidak sama dengan zat adiktif narkoba. Saya melihat RUU Kesehatan ini mendorong, memuluskan jalan untuk “penghapusan penggunaan” tembakau secara perlahan," paparnya.

Padahal, lanjut Ali Rido, bahwa Pendapat Pemerintah dalam Putusan MK No. 34/PUU-VIII/2010 menegaskan: "Pengaturan tembakau dan produk yang mengandung tembakau bertujuan untuk melakukan pengamanan atas konsumsinya,bukan menghilangkan tembakau atau produk yang mengandung tembakau. UU hanya melakukan "pengamanan dan perlindungan kesehatan, bukan pelarangan".

Ia juga menegaskan bahwa berlandaskan Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009, bahwa pendapat pemerintah adalah "Dilihat dari sisi adiktifnya, nikotin itu (rokok) terletak sejajar dengan kafein dan tidak sama tingkatnya dengan opium, kokain, ganja, halusinogen, ataupun macam-macam zat se-adiktif hipnotik sehingga pengaturan mengenai rokok tidak pernah disetarakan dengan pengaturan mengenai narkotika dan obat-obatan terlarang. Kopi, teh dan cokelat yang mengandung kafein juga merupakan zat adiktif".

Penerapan KTR yang Eksesif

Selain pasal 154 mengenai Pengamanan Zat Adiktif, AMTI menilai bahwa pasal 157 mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR) juga sangat eksesif.

"Di dalam pasal 157, pasal 2 dan 3 terkait Kawasan Tanpa Rokok, menekankan bahwa Pemerintah Daerah Wajib Menerapkan KTR.  Kata wajib tersebut erat kaitannya dengan implikasi yuridis (pengaturan dan penerapan sanksi) atas penerapan KTR itu sendiri," kata Hananto.

Terhadap substansi terkait KTR tersebut, Ali Rido juga menilai penekanan utama terkait sanksi hanya ditujukan pada perokok. Bukan pada instansi yang gagal atau tidak menerapkan KTR.

"Sanksi pidana hanya menyasar perokok. Lalu bagaimana dengan pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya yang tidak menyediakan tempat khusus merokok? Mereka TIDAK dikenakan sanksi. Ini justru menunjukkan sanksi berlebihan dan tidak sejalan dengan penentuan sanksi pidana dengan Modified Delphi Method yang dianut KUHP Baru," tambah Ali Rido.