Bagikan:

JAKARTA - Asosiasi pelaku usaha produk tembakau alternatif menolak sejumlah pasal terkait tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 lantaran akan mematikan industri produk tembakau alternatif yang tergolong baru dan didominasi oleh UMKM.

Aturan tersebut juga dinilai tidak efektif sehingga perlu direvisi.

"Salah satunya pasal 434, di mana toko dilarang menjual produk tembakau dalam radius 200 meter dari instansi pendidikan. Ini bukan solusi, justru hanya akan menimbulkan masalah baru karena merugikan pedagang kecil, membatasi bisnis UMKM, dan membuat lebih banyak pengangguran," ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Garindra Kartasasmita dalam keterangannya di Jakarta, dikutip dari Antara, Senin 2 September.

Menurutnya, pengaturan pada PP 28/2024 dibuat lebih ketat dibandingkan PP sebelumnya yang mengatur terkait pertembakauan, yaitu PP 109 Tahun 2012. Selain soal jarak, usia pembelinya dinaikkan dari sebelumnya minimal 18 tahun, sekarang menjadi 21 tahun.

APVI menyatakan setuju untuk menjual produk tembakau dan rokok elektronik hanya bagi konsumen dewasa, hanya saja tidak perlu mematikan industri tersebut yang mayoritas ialah UMKM.

"Dulu PP 109/2012 saja penerapannya tidak berhasil. Kalau tujuannya untuk menekan pengguna di bawah umur itu kami setuju dan kami mengajukan solusi yang lebih efektif, yaitu hukumannya yang harus diperjelas. Jadi misalkan pidana, sanksi untuk yang jual di bawah 18 tahun, pengawasan dan edukasinya kami pun akan bantu," ungkap Garindra.

Saat ini, lanjut dia, APVI secara konsisten mengawasi terhadap semua anggota ritel mereka untuk menaati kode etik dan pakta integritas yang telah disepakati oleh seluruh anggota APVI serta komitmen tidak menjual produk tembakau alternatif ke anak di bawah umur.

Garindra menilai PP 28/2024 hanya akan berpotensi menghambat upaya pemerintah dalam menurunkan prevalensi merokok dan berujung pada meningkatnya peredaran produk ilegal.

Untuk itu, ia mengharapkan agar pemerintah senantiasa melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan, termasuk pelaku usaha karena akan berdampak secara langsung ke mereka.

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansah mengungkapkan tidak adanya keterlibatan pelaku usaha sebagai pemangku kepentingan di industri produk tembakau alternatif dalam perumusan PP 28/2024. Hal itu menyebabkan penerapannya tak akan efektif di lapangan.

Menurut dia, partisipasi publik dalam penyusunan PP 28/2024 hanya melibatkan kelompok yang mayoritas kontra dengan produk tembakau. Sementara, asosiasi produk tembakau alternatif tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan tersebut.

"Bagaimana mau mendukung kebijakan ini? Saya rasa di lapangan banyak resistensi dan penolakan, sanksinya juga tidak ada. Jadi menurut saya harus clear," tuturnya.

Ia juga mengharapkan kebijakan yang diterapkan di publik seharusnya memberikan solusi, bukan menimbulkan masalah baru. Terlebih, dampak langsung PP 28/2024 ini akan memberatkan usaha kecil seperti UMKM dan warung kelontong.

"Sebetulnya aturan ini sudah bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, di mana rokok merupakan produk legal dan kenapa harus menyentuh pada pedagang eceran, di mana pembelinya adalah masyarakat bawah yang penghasilannya rendah. Pedagang ini juga membutuhkan pendapatan karena mereka selama ini mendapat penghasilan dari situ," ucap Trubus.

Oleh karena itu, lanjut dia, jika pemerintah masih tidak memperhatikan masukan-masukan dari berbagai elemen masyarakat terkait, maka tidak ada jalan lain selain mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung (MA).