ACEH - Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh meminta pabrik kelapa sawit membeli tandan buah segar (TBS) sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah.
"Kami selalu monitor, beberapa hari lalu kami juga bertemu dengan PKS untuk membahas penetapan harga TBS," kata Kepala Bidang Pengelolaan dan Pemasaran Perkebunan Distanbun Aceh Regina dilansir ANTARA, Kamis, 30 Juni.
Distanbun Aceh telah menetapkan harga TBS pada Rabu 29 Juni, dan berlaku hingga pekan pertama Juli 2022.
Untuk wilayah barat Aceh, pabrik kelapa sawit harus membeli TBS dengan harga tertinggi pada usia tanaman 10-20 tahun sebesar Rp1.850 per kilogram dan terendah pada usia tiga tahun Rp1.200 per kilogram.
Sedangkan wilayah timur Aceh, harga TBS sawit tertinggi usia tanaman 10-20 tahun sebesar Rp1.874 per kilogram, dan harga terendah pada usia tiga tahun yakni Rp1.287 per kilogram.
"Kondisi ini selalu berubah, maka kita tetapkan harga seminggu sekali," kata Cut Regina.
Oleh karenanya, Distanbun meminta pabrik kelapa sawit disiplin membeli TBS sesuai dengan harga yang ditetapkan, terutama bagi petani yang bermitra dengan perusahaan, seperti yang diatur dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1 tahun 2018.
Saat ini, masih menurut dia, hanya sekitar 30 persen petani sawit di Aceh yang masuk dalam kelembagaan petani serta bermitra dengan pabrik kelapa sawit.
Sedangkan 70 persen sisanya masih petani swadaya.
"Kita telah menetapkan harganya, menurut rendemennya, pabrik kelapa sawit tinggal mengikuti saja untuk yang bermitra. Mungkin bagi yang tidak bermitra dibeli di bawah (harga) itu,” katanya.
Regina menjelaskan, harga yang ditetapkan pemerintah kali ini memang turun dibandingkan harga penetapan pada bulan-bulan sebelumnya, yang bahkan lebih Rp3.000 per kilogram TBS sawit.
Penurunan harga penetapan pemerintah ini dampak dari larangan ekspor CPO beberapa waktu lalu.
Namun, ketika kini keran ekspor dibuka kembali, pabrik kelapa sawit belum siap melakukan ekspor karena beberapa faktor, salah satunya pungutan ekspor yang tinggi.
BACA JUGA:
Hal ini membuat penumpukan TBS di setiap pabrik kelapa sawit, dan juga membuat kualitasnya yang semakin menurun.
"Memang setelah dibuka keran ekspor, pabrik kelapa sawit belum mengekspor karena harga tidak sesuai, karena ada penumpukan dari awal pelarangan ekspor. PKS juga tidak mungkin menjual dengan harga rendah, sementara mereka beli dengan harga tinggi," kata Regina.